Skip to main content

Jejak Tiga Perdana Menteri di Pendidikan Singapura

Singapore Chronicles: Education merangkum capaian kebijakan pendidikan Singapura yang digagas dan dikawal oleh setiap perdana menteri. Tercatat ada tiga perdana menteri Singapura. Berikut ulasan singkat capaian tiga perdana menteri Singapura beserta kebijakan umum pendidikan yang digagas selama masa pemerintahan mereka. 

(1) Lee Kuan Yew (1959 - 1990)

Perdana menteri pertama, Lee Kuan Yew menjadi penentu masa depan Singapura. Pada masa awal kemedekaan ini, pemerintah Singapura melalui Lee Kuan Yew mulai meletakkan dasar pendidikan mereka. Pola pendekatan Lee Kuan Yew dalam mengelola pemerintahannya tergolong otoriter seperti era Orde Baru (command and control approach). Pendekatan seperti ini dipilih menimbang kondisi sosial politik waktu itu yang masih rentan dan mudah bergejolak. 

Kebijakan pendidikan bersifat terpusat dan sangat diatur oleh Kementerian Pendidikan Singapura. Salah satu yang menjadi tantangan pemerintah SIngapura di awal kemerdekaan adalah menyatukan bangsa yang terdiri dari 3 etnis berbeda, China, India dan Melayu. Strategi kebijakan pendidikan yang dilakukan adalah melalui kebijakan dua bahasa (bilingualism) dan pembangunan pendidikan ke arah teknik atau vokasi. Peletakan visi pendidikan Singapura dikawal dengan ketat oleh Lee Kuan Yew hingga lengser pada tahun 1990.


(2) Goh Chok Tong (1990 - 2004)

Perubahan sosial politik dunia di awal 1990-an sudah berubah. Seiring berkembangnya teknologi, peradaban dunia berubah menjadi lebih terbuka dan mengglobal. Pada masa awal pemerintahan oerdana menteri kedua, Goh Chok Tong, visi pendidikan Singapura mulai memasuki pendidikan era globalisasi. Tujuannya untuk menciptakan generasi muda Singapura yang tanggap zaman dengan era globalisasi. Terjadi perubahan kebijakan pendidikan dengan mengakomodasi kebutuhan tersebut. 

Pada masa ini terjadi transisi dari era industri ke era knowledge economy. Di masa ini permintaan pasar tenaga kerja banyak bergeser ke industri jasa seperti keuangan dan pariwisata. Teknologi internet mulai digunakan secara luas, dan sektor ekonomi yang mulai mengarah ke inovasi serta penggunaan pengetahuan (knowledge). Guna menyiapkan angkatan kerja tanggap globalisasi tersebut, maka diperlukan siswa yang memiliki "soft skills" seperti kewirausahaan, inovasi, flexibility, dan komitmen untuk belajar seumur hidup (lifelong learning). 

Guna mendukung kebutuhan tersebut, pemerintah Singapura mulai menerapkan pembelajaran berbantuan komputer. Melalui pendekatan ini para siswa difasilitasi untuk belajar mandiri (self-paced), belajar interaktif dan belajar di mana saja dan kapan saja (anywhere-any time learning). Selain itu kebijakan wajib belajar 10 tahun serta dukungan pembiayaan menjadi penyokong utama kebijakan tersebut.


(3) Lee Hsien Loong  (2004 - sekarang)

Memasuki era kepemimpinan perdana menteri ketiga, Lee Hsien Loong, kebijakan pendidikan kembali mengalami penyesuaian. Pemerintahan Lee mulai mengubah kebijakan pendidikan yang sebelumnya sangat terpusat (top down approach), kini lebih autonomous (bottom up initiative). Kebijakan yang "membebaskan" guru dan sekolah dalam pendidikan dan pengajaran ini disebut sebagai Teach Less, Learn More (TLLM). Kebijakan tersebut diterapkan karena kebijakan sebelumnya sudah tidak bisa menjawab tantangan perkembangan ekonomi dan peradaban baru. 

Tuntutan era baru seperti inovasi, pemecahan masalah, kemampuan berpikir kreatif yang menjadi tuntutan keterampilan abad 21 perlu difasilitasi dengan pendekatan yang berbeda. Keputusan pemerintah untuk membebaskan pendidikan ini guna menyiapkan angkatan kerja Singapura ke arah knowledge society and economy. Guna mencapai itu, pemerintah Singapura memiliki 4 visi pendidikan masa depan, yaitu: (1) Thinking Schools, Learning Nation, (2) Teach Less, Learn More, (3) Tight, Loose, Tight, dan (4) Professional Learning Communities.

Paparan singkat memberikan gambaran sangat umum tentang evoluasi kebijakan pendidikan Singapura. Refleksi yang didapatkan dari ringkasan di atas adalah panjangnya masa pemerintahan perdana menteri mampu mengawal visi pembangunan negaranya dengan baik dan sesuai dengan peta arah pembangunan yang dirancang. Visi pendidikan yang dibangun oleh pemerintah Singapura sangat berorientasi pada pembangunan bangsa dan negara, khususnya di bidang ekonomi dan sumber daya manusia. Oleh karena itu setiap perdana menteri selalu melakukan evaluasi dan penyesuaian kebijakan pendidikan yang diselaraskan dengan perkembangan masyarakat dunia.

Studi kasus di Singapura bisa menjadi contoh baik bagi pengembangan kebijakan pendidikan Indonesia. Upaya memerdekakan pendidikan juga mulai tercermin dalam kebijakan Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Semoga kebijakan Merdeka Belajar Indonesia bisa tetap dirawat dan bertumbuh walaupun terjadi pergantian presiden dan menteri pendidikannya.


Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...