Bagi para penikmat sejarah Batavia, asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta.
Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara.
Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin menguat. Gulden demi gulden berhasil disetor ke kas kerajaan yang sudah kritis. Di tengah panen gulden ini, VOC mendapatkan pesaing militan, yaitu para pedagang Tionghoa (lokal) yang telah malang melintang di dunia perdagangan Nusantara jauh sebelum Belanda datang.
Untuk menghambat pertumbuhan ekonomi pedagang lokal ini, VOC memberlakukan berbagai pungutan liar dengan satu tujuan yaitu, membuat pedagang lokal miskin dan tidak menggangu perdagangan VOC. Berbagai macam cara telah dicoba, dari cara halus sampai kasar, namun tidak memberi efek jera bagi pedagang lokal kita.
Kejengkelan VOC terhadap daya juang pedagang lokal ini membuat Gubernur Jenderal Valckenier gelap mata, semua cara kini dihalakan dengan satu tujuan, menyingkirkan pedagang lokal dari sistem perdagangan. Puncaknya terjadi pada akhir tahun 1739 sampai Imlek di bulan Februari 1740. Dalam rentang waktu 2 bulan ini, terjadi penangkapan sekitar seratus orang lokal. Kejadian ini memicu munculnya gerakan perlawanan warga. Melihat gelagat yang tidak baik ini, VOC menerapkan berbagai macam larangan untuk membatasi gerak warga. Pelarangan ini justru semakin membakar semangat perlawanan warga.
Puncaknya terjadi 8 bulan kemudian pada sore hari, tepatnya pada 9 Oktober 1740. Saat itu Valckenier memerintahkan pasukan kavaleri dan grenadiers VOC mengepung pemukiman warga lokal serta membumi hanguskannya. Aksi penyerangan ini menyebabkan semua penghuni berhamburan keluar. Namun, saat mereka melarikan diri ke kanal dan kali, perahu patroli VOC sudah menghadang. Akhirnya dimulailah pembantaian itu.
Pembantaian terus berlanjut sampai 10 Oktober 1740. Kali ini target pemusnahan adalah warga lokal yang selamat para tahanan penjara serta pasien rumah sakit. Saat itu ada sayembara yang aneh, ”Barang siapa bisa memancung kepala warga lokal (Tionghoa) akan mendapat hadiah 2 dukat per kepala.” Pembantaian ini juga melibatkan bumiputera yang telah dihasut VOC sebelumnya.
Jumlah warga lokal yang dibantai mencapai 10.000 jiwa. Mayat-mayat korban pembantaian ini bergelimpangan di berbagai sudut jalan, kali dan kanal. Cara termudah untuk menyingkirkan mayat-mayat itu adalah dengan membuangnya ke Kali Besar, sebuah kali yang tepat berada di lokasi pembantaian.
Derasnya arus Kali Besar saat itu menghanyutkan mayat korban ini ke beberapa percabangan kali yang ada. Dan salah satu kali yang dilalui adalah Kali Angke. Lokasi terdamparnya mayat korban pembantaian Oktober ini dinamai dengan nama yang seseram pembantaian itu sendiri, yaitu Muara Angke (Bangke).
Berangkat dari sejarah kelam ini, sekarang coba kita refleksikan dengan peristiwa yang sering terjadi di sekitar kita. Di media setiap hari pasti kita dengar korban perkosaan, perampokan, penipuan, penganiyaan, pembunuhan, tanah longsor, banjir, keracunan air, pencemaran sungai. Seolah kasus pelanggaran HAM ini tidak ada habisnya, dari kecil sampai besar. Dari korban bayi sampai orang tua. Setiap hari pasti ada saja berita pelanggaran HAM di media massa.
Pelanggaran HAM bisa terjadi karena seolah kita yang berhak atas segalanya. Mirip dengan VOC yang merasa berhak atas perdagangan rempah daripada pedagang lokal. Di saat kepentingan dari pihak yang berkuasa ini terusik, bersiaplah nyawa taruhannya. Dengan semakin cerdasnya manusia, kehidupan tidak semakin sejahtera, justru sebaliknya. Bahkan lebih gila lagi daripada Gubernur Jenderal Valckenier.
Hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki seseorang sejak ia lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Hak-hak dasar manusia itu antara lain hak untuk hidup, memperoleh pendidikan, hidup bersama-sama dengan orang lain, mendapatkan perlakukan yang sama, dan mendapatkan pekerjaan.
Sang Pencipta saja tidak sewenang-wenang, lha kok kita yang berstatus ciptaan malah berlagak sok kuasa, sok jadi hakim. Penggambaran ini menunjukkan bahwa manusia merupakan ciptaan berakal budi yang bejat dan munafik (termasuk saya juga).
Apakah selamanya kita akan merugikan orang lain, padahal status kita adalah sama-sama mahluk ciptaan Sang Khalik? Apakah kita mau dicap sebagai orang bejat dan munafik namun berakhlak mulia? Dalam peringatan HAM tahun ini, saya mengajak para pembaca untuk lebih menghargai kemanusiaan manusia, bukan kemateriaan manusia.
Bentuk kepeduliannya bisa diwujudkan dalam berbagai cara. Anda mau berbuat sesuatu?, silahkan pilih salah satu hak yang akan anda perjuangkan. Selamat merayakan hari Hak Asasi Manusia. Selamat memanusiakan manusia. Tuhan memberkati kita.
Sumber cerita : Pembantaian Massal 1740 Tragedi Berdarah Angke
Comments
tapi saya mau nanya nih,
waktu thu berapa banyak jumlah Orang tionghoa di indonesia??