Skip to main content

Di Utrecht, Sepeda Jalan Kanan

Populasi kota Utrecht sebanyak 357.179 jiwa. Data populasi tahun 2019 ini kurang lebih sebanding dengan populasi kota Bengkulu pada tahun yang sama, yakni sebesar 369.539 jiwa. Bila di Bengkulu atau kota-kota Indonesia lainnya kita melihat sepeda motor mendominasi, maka tidak demikian di Utrecht. Sepeda angin atau sepeda gowes adalah alat transportasi penting masyarakat Utrecht.

Setiap pagi, jalanan pasti ramai orang lalu lalang bersepeda, karena sepeda adalah salah satu moda transportasi utama selain bus.   

Bagaimana rasanya naik sepeda di Belanda? Seru sekali. Beruntung saya memiliki teman kuliah yang bermukim di Utrecht. Ketika saya menduduki Utrecht, Wida datang berkunjung. Dan saya dapat kesempatan berharga, mencoba bersepeda di jalanan Utrecht. Pada tahun 2010, seingat saya belum ada jalur sepeda yang melintasi seluruh kota Jakarta. Sehingga itu adalah kali pertama saya bersepeda di jalur khusus sepeda.

Sistem lalu lintas di Belanda berbeda dengan di Indonesia. Di Belanda orang berjalan di sisi kanan. Hal yang sama juga berlaku untuk sepeda, berjalan di sisi kanan. Kebiasaan di Indonesia berjalan di sisi kiri. Ini yang kadang membingungkan, khususnya kalau bertemu persimpangan dan harus berbelok arah, entah kanan atau kiri. Secara refleks, alam bawah sadar akan membawa kita berkendara di sisi kiri.

Selain perbedaan cara berkendara, sepeda adalah raja jalanan di Utrecht. Sepanjang mata memandang, di kiri kanan jalan hanya ada parkiran sepeda. Mobil ada, tapi tidak banyak. Barang yang paling langka dan susah ditemui adalah sepeda motor. Sedangkan sepeda ada yang sampai rusak tetap teronggok di parkiran. Kadang ada beberapa bagian sudah dipreteli. 

Hal yang paling mencengangkan adalah ketika jalan ke parkiran sepeda stasiun kereta utama, Utrecht Centraal. Ratusan bahkan ribuan sepeda terparkir di area stasiun ini. Saya tidak tahu bagaimana cara mereka mengambil sepeda-sepeda tersebut.

Satu lagi yang membuat saya takjub. Bersepeda di Utrecht sejauh apapun, badan saya tetap adem tidak berkeringat. Bisa jadi karena faktor cuaca dingin, sehingga kelenjar keringat enggan bekerja. Kalau saja di Yogyakarta bisa bersepeda minim keringat seperti di Utrecht, saya akan banyak bepergian dengan sepeda alih-alih menggunakan sepeda motor atau mobil.


Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...