Skip to main content

Perjalanan Mengejar Mimpi ke Luar Negeri

Cerita ini merupakan sambungan dari cerita sebelumnya. Perbincangan saya dan Yosie tentang jumlah negara yang pernah saya kunjungi, menjadi inspirasi untuk berbagi tulisan singkat tentang pengalaman tersebut.

Mimpi pergi ke luar negeri sudah ada sejak saya sekolah SMA. Waktu itu saya ingin melanjutkan studi ke luar negeri. Salah satu incaran adalah sekolah penerbangan di Australia. Mimpi ini karena dulu sering beli majalah Angkasa dan ada promosi tentang sekolah penerbangan di dalamnya. Tapi apa daya, tidak bisa bahasa Inggris dan tidak ada dana. Akhirnya angan keluar negeri ditahan dulu.

Menginjak masa kuliah mimpi itu kembali berdengung. Saat itu ada tawaran dari kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) untuk mengikuti pertukaran pelajar dengan Chung Ang University (CAU) di Korea Selatan. Seingat saya peristiwa itu terjadi tahun 2004 saat saya semester 6. Seingat saya lagi, ini adalah program pertukaran pelajar pertama yang diadakan UKDW.

Salah satu syarat mengikuti program pertukaran pelajar ini adalah membuat sebuah esai, lalu mengisi beberapa dokumen akademik sebagai syarat admnistrasinya. Tentu tidak kalah pentingnya adalah kemampuan berbahasa Inggris untuk percakapan dan keuangan.

Proses seleksi saat itu cukup ketat. Menurut saya, saya lolos proses seleksi administrasi. Tiba saatnya wawancara untuk menguji kemampuan speaking, saya tidak bisa. Saat itu salah satu dosen penyeleksi menanyakan tentang esai yang saya tulis. Pertanyaan mendasar tentang apa pesan yang kamu tulis dan apa maksudnya? Itupun tidak bisa saya jawab dalam bahasa Inggris. Ditambah lagi orang tua saya harus mendukung pembiayaan sebesar Rp6 juta rupiah. Tentu mendengar nominal tersebut saya sempat ragu. Tapi saya mantapkan untuk menjawab bahwa orang tua saya sanggup mendukung pembiayaan tersebut.

Akhir kata, saya tetap di Jogja, dan melanjutkan kuliah hingga lulus. Mimpi ke luar negeri kembali tertunda sampai menunggu waktu yang tepat.

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda

Impact of Agrarian Change in Indonesia

Indonesia is a country that is facing a number of challenges related to food security and social protection, particularly in the context of agrarian change. On one hand, the country has seen an increase in agricultural productivity and exports, which has contributed to economic growth and development. On the other hand, this agrarian change has also led to a number of paradoxes, including a decline in food security and social protection for many of the country's most vulnerable citizens. One of the main drivers of agrarian change in Indonesia is the expansion of commercial agriculture, particularly in the form of large-scale oil palm and pulpwood plantations. This expansion has brought significant economic benefits to the country, including increased exports, foreign investment, and job creation. However, it has also led to the displacement of smallholder farmers, the destruction of natural habitats, and the loss of traditional livelihoods. This has had a negative impact on food se

4 Pelajaran Terbaik yang Saya Dapatkan di 30DWC Jilid 34

Rabu, 19 Januari 2022 adalah akhir dari tantangan 30 hari menulis tanpa henti. Kami menyebutnya 30DWC (30 Days Writing Challenge ). Kegiatan yang saya ikuti ini sudah sampai pada jilid ke 34. Program 30DWC ini dirancang untuk melatih kebiasaan menulis bagi mereka yang mau membiasakan diri menulis.  Saya mengikuti 30DWC ini karena memang ingin menantang diri saya sendiri. Apakah saya bisa menulis setiap hari tanpa henti? Ya, ternyata saya bisa. Selama sembilan hari saya sangat bersemangat. Setiap hari saya mengunggah tulisan di blog pribadi. Tercatat ada 2 tulisan non fiksi dan tujuh tulisan fiksi berupa cerpen bersambung. Namun, konsistensi menulis itu hanya bertahan sampai hari kesembilan. Memasuki hari kesepuluh, saya sudah tidak sanggup. Kemudian mundur secara konsisten dan menghilang ditelan kesibukan.  Enam hari menjelang berakhirnya 30DWC, semangat menulis kembali muncul karena dorongan dari teman-teman. Saya lalu menyemangati diri sendiri, bahwa saya bisa menuntaskan perjalanan