Setiap hari manusia pasti memproduksi sampah, baik secara alami maupun buatan. Sampah merupakan materi sisa yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi. Secara alami tubuh manusia membuang materi berbahaya dari dalam tubuh melalui kencing, keringat dan kotoran manusia. Setiap hari, sampah alami tersebut dibuang ke lingkungan. Karena bersifat alami sehingga mudah diurai, sampah ini praktis tidak membawa pengaruh besar bagi lingkungan.
Sampah buatan manusia merupakan jenis sampah yang berbahaya. Sampah ini bertahan lama di alam dan sangat sukar diurai oleh proses alami. Sampah ini berwujud padat, cair hingga gas. Sebagian besar bahan dasar penyusunnya merupakan zat buatan manusia yang tidak dikenali oleh sistem pengurai alami. Sehingga bisa menyebabkan sampah jenis ini bertahan lebih dari seratus tahun. Jika tidak dikelola dengan tepat, sampah yang membawa sifat racun dapat menyebabkan kematian bagi lingkungan maupun manusia.
Sampah alami dan buatan ini setiap hari selalu dibuang ke lingkungan. Tapi jumlah sampah yang bisa dikurangi tidak sesuai dengan yang dihasilkan. Keadaan seperti ini sesuai dengan kata pepatah ”Besar pasak daripada tiang.” Dari tahun ke tahun tren jumlah sampah yang dihasilkan bukannya mengalami penurunan, justru mengalami peningkatan.
Jakarta sebagai kota besar dengan jumlah penduduk mencapai 9 juta jiwa sudah tidak mampu lagi menanggung beban sampah padat yang dihasilkan warganya. Jika setiap penduduk menghasilkan setengah kilogram sampah per harinya, maka diperkirakan berat sampah kota Jakarta mencapai 4.500 ton. Berat ini setara dengan berat 900 ekor Gajah Sumatera dewasa. Sebuah angka yang fantastis. Berdasarkan dari volume sampah yang dihasilkan, penduduk Jakarta memproduksi sampah padat tidak kurang dari 27.000 m3 setiap hari. Angka ini mungkin susah jika dibayangkan. Apabila dianalogikan, volume sampah tersebut bisa digunakan untuk membangun sebuah candi Borobudur yang volumenya 55.000 m3 dalam waktu dua hari. Ini adalah jumlah sampah yang luar biasa banyaknya. Setiap hari kita menimbun jumlah sampah yang luar biasa banyaknya. Ilustrasi tersebut belum termasuk sampah cair dan gas yang belum bisa diketahui jumlahnya secara pasti.
Saking banyaknya timbulan sampah yang dihasilkan dan sampai saat ini belum ada penanganan sampah yang ideal, tidak aneh jika kita kerap melihat praktek pengolahan sampah secara ilegal. Pembakaran, penimbun sampah di tepian sungai dan ada juga yang dengan sengaja membuang sampah ke sungai merupakan cara yang dihalalkan untuk melenyapkan sampah. Sayangnya tidak semua jenis sampah memiliki karakteristik penanganan seperti demikian. Beberapa sampah perlu ditangani secara khusus, seperti aki bekas yang mengandung cairan asam keras dan timbal, lampu pendar yang mengandung merkuri, sampai sampah medis yang mengandung bakteri dan virus berbahaya. Sampah-sampah dengan jenis seperti ini perlu penanganan khusus.
Pendapat yang banyak beredar di warga Jakarta adalah jika sampah sudah keluar dari rumah dan diangkut tukang sampah ke Tempat Penampungan Sementara (TPS), maka semua masalah sudah selesai. Namun ada sisi lain yang tidak semua orang mampu singkap. Fakta menunjukkan bahwa dampak kerusakan yang ditimbulkan dari penanganan sampah secara ilegal ini justru jarang terjadi di sumber sampah. Banyak kasus pencemaran lingkungan terjadi di tempat lain. Banjir karena pendangkalan sungai oleh sampah merupakan hal yang kerap kita lihat saat musim penghujan tiba. Di daerah hilir, nelayan pesisir utara Jakarta harus merugi setiap tahun, karena sampah plastik dan limbah industri dari wilayah hulu mencemari Teluk Jakarta dan menyebabkan kematian ikan tangkapan mereka. Tidak hanya mengancam manusia, sampah juga mengancam spesies dan ekosistem hutan mangrove terakhir Jakarta yang menjadi kawasan peresapan air. Jika dirunut dari satu ke kasus yang lain, kita menemukan sebuah benang merah, yaitu tidak adanya kepedulian warga Jakarta pada hal yang berhubungan dengan sampah.
Informasi tentang cara penanggulangan sampah sebenarnya sering kita dengar. Bahkan sebagian warga Jakarta sudah mengetahuinya melalui himbauan pemerintah, iklan, media massa maupun lembaga pendidikan. Tapi, informasi berharga itu seolah dianggap angin lalu saja, karena toh tidak berdampak secara langsung pada kehidupan sehari-hari.
Mengusung isu lingkugan ke dalam ranah publik merupakan perjuangan yang menantang. Ada sebuah anekdot yang menyindir bahwa selama manusia belum sejahtera, maka kelestarian lingkungan dinomor duakan. Jelas bahwa kepentingan ekonomi adalah lebih utama dibandingkan kepentingan ekologi (lingkungan). Secara teori, kedua hal tersebut saling berkaitan dan mendukung, tapi mengapa dalam prakteknya kita sering mendewakan ekonomi sebagai segala-galanya?
Sejenak kita coba melihat sejarah. Pada zaman purba, nenek moyang manusia juga sudah mengenal sampah. Mereka mengelola sampah dengan cara ditimbun dan dibakar. Cara seperti ini masih memungkinkan karena jumlah manusia masih sedikit dan yang perlu digaris bawahi, jenis makanan yang mereka konsumsi bisa dengan mudah diuraikan oleh tanah. Evolusi manusia yang terjadi secara fisik dalam jangka ribuan tahun, sayangnya belum berhasil melakukan evolusi pada konsep penanganan sampah. Berjuta-juta tahun kemudian, setelah peradaban manusia semakin maju, cara penanganan sampah masih melestarikan teori pengelolaan sampah purba. Cara purba seperti itu seharusnya sudah tidak layak diterapkan dalam penanganan sampah abad 21 ini.
Kita kerap melihat orang membakar sampah di kebun maupun tempat sampah setiap hari. Dan ini nampaknya sudah menjadi kebiasaan yang akut. Belum semua orang menyadari bahwa pembakaran plastik pada suhu yang tidak sesuai berpotensi untuk melepaskan zat racun yang bernama dioksin. Zat ini berpotensi memicu timbulnya kanker pada manusia. Tidak hanya dioksin, proses pembakaran sampah juga menghasilkan karbondioksida yang merupakan salah satu gas penyebab pemanasan global.
Jika demikian masalahnya, apakah ada solusi yang ramah lingkungan? Konsep 3 R yang dijabarkan sebagai reduce (mengurangi), reuse (memakai kembali), recycle (daur ulang) merupakan jalan keluarnya. Dari ketiga tahapan tersebut, selalu utamakan reduce dalam penanganan sampah. Bagaimana kita bisa menanggulangi sampah apabila jumlah sampah yang dihasilkan tidak pernah berhenti? Tips praktis adalah bawa tas belanja sendiri saat berbelanja. Secara tidak langsung kita sudah mengurangi jumlah plastik yang akan kita buang ke tempat sampah.
Langkah selanjutnya usahakan memakai kembali (reuse). Reuse merupakan upaya untuk memaksimalkan masa pakai sebuah benda sebelum benar-benar tidak berfungsi dan harus berakhir di tempat sampah. Ketiga, barang-barang yang sudah tidak layak pakai dan fungsi bisa kita daur ulang (recycle). Daur ulang berguna untuk mengambil kembali bahan material dasar yang bisa digunakan untuk diproses menjadi barang baru. Botol air minum kemasan merupakan plastik jenis PET. Plastik jenis ini masih bisa dihancurkan menjadi biji plastik untuk dibuat menjadi barang baru kembali.
Sampah merupakan masalah klasik yang membutuhkan cara penyelesaian yang menarik. Pendidikan cinta lingkungan beberapa tahun belakangan ini semakin gencar dilakukan. Baik pada tingkatan siswa sekolah maupun masyarakat umum. Proses kesadaran ini terjadi setelah semakin banyaknya warga Jakarta yang peduli pada lingkungan. Berbagai upaya penyelamatan lingkugan mulai banyak bermunculan dengan kata-kata berbau hijau (green). Dalam prakteknya tidak jarang timbul keanehan yang menggelikan. Seolah terhipnotis oleh kata green, maka jika memakai baju berwarna hijau atau mengecat dinding rumahnya mereka sudah aktif dalam gerakan green. Ini adalah fakta yang bisa ditemui di tengah masyarakat kota Jakarta. Walau bagaimanapun semangat gerakan seperti ini patut didukung dan terus dikembangkan. Persepsi yang beraneka warna pada itu sudah lumrah, tapi satu hal yang layak jadi pegangan adalah jangan menjadikan kegiatan berbau hijau (green) tersebut hanya menjadi sebuah seremoni belaka, perlu ada tindakan nyata. Yang lebih dibutuhkan lingkungan saat ini adalah konsistensi kita sebagai aktor untuk menjalankan komitmen ramah lingkungan tersebut.
Banyak pendapat yang mengkotak-kotakkan bahwa isu lingkungan hanya bisa dilakukan oleh aktivis lingkungan saja. Pemahaman seperti ini sudah saatnya diubah. Karena masalah sampah adalah masalah kita bersama. Dalam hal ini tidak ada yang lebih ahli dari yang lain. Penanganan masalah sampah perlu kebersamaan dan komitmen untuk menjalaninya. Membawa tas belanja sendiri saat ke warung atau membawa botol minum saat bepergian sudah berperan besar mengurangi jumlah sampah yang akan membunuh lingkungan dan manusia.
Kasus kerusakan lingkungan yang besar, seperti perubahan iklim atau yang sering dikenal sebagai global warming sebenarnya berangkat dari sebuah hal yang sederhana. Dan penanganan sampah yang salah kaprah merupakan salah satu kontributornya. Saat ini sudah saatnya kita bertindak untuk melakukan sesuatu yang sederhana tapi bermakna. Percayalah bahwa satu tindakan sederhana yang kita lakukan, pasti akan menular ke orang lain. Semakin banyak manusia yang peduli pada kelestarian bumi, setidaknya masih ada harapan untuk menyelamatkan peradaban manusia setidaknya untuk satu hari.
Comments