Skip to main content

4 Pelajaran Terbaik yang Saya Dapatkan di 30DWC Jilid 34


Rabu, 19 Januari 2022 adalah akhir dari tantangan 30 hari menulis tanpa henti. Kami menyebutnya 30DWC (30 Days Writing Challenge). Kegiatan yang saya ikuti ini sudah sampai pada jilid ke 34. Program 30DWC ini dirancang untuk melatih kebiasaan menulis bagi mereka yang mau membiasakan diri menulis. 

Saya mengikuti 30DWC ini karena memang ingin menantang diri saya sendiri. Apakah saya bisa menulis setiap hari tanpa henti? Ya, ternyata saya bisa. Selama sembilan hari saya sangat bersemangat. Setiap hari saya mengunggah tulisan di blog pribadi. Tercatat ada 2 tulisan non fiksi dan tujuh tulisan fiksi berupa cerpen bersambung. Namun, konsistensi menulis itu hanya bertahan sampai hari kesembilan. Memasuki hari kesepuluh, saya sudah tidak sanggup. Kemudian mundur secara konsisten dan menghilang ditelan kesibukan. 

Enam hari menjelang berakhirnya 30DWC, semangat menulis kembali muncul karena dorongan dari teman-teman. Saya lalu menyemangati diri sendiri, bahwa saya bisa menuntaskan perjalanan ini. Saya sudah berhenti menulis sejak hari kesepuluh. Maka hutang tulisan saya menumpuk hingga 17 tulisan. Saya akan dinyatakan lulus menyelesaikan 30DWC bila semua hutang tersebut diselesaikan. Bukan pekerjaan mudah memang, tapi apa yang dimulai harus diakhiri.

Selama masa hibernasi menulis, yaitu antara hari ke 10 dan 24, saya membaca sebuah artikel blog berjudul Why Scientific Writing Warm Ups (and Exercise) are Essential. Artikel ini secara tidak langsung mengingatkan saya, bahwa menulis itu berat. Menulis bukan hal yang mudah. Karena itu, menulis juga memerlukan latihan. Artikel ini salah satu yang memberi inspirasi dan mengingatkan saya untuk kembali menjalani 30DWC.

Hagan, penulis artikel tersebut mengibaratkan bahwa seorang penulis perlu memiliki sesi latihan layaknya atlet lari maraton. Seorang atlet lari maraton tidak bisa langsung mengikuti pertandingan. Atlet tersebut harus melakukan latihan lari jarak tertentu secara rutin. Sampai pada suatu saat, otot-ototnya sudah siap diajak melahap lintasan maraton yang panjang. Hal yang sama juga terjadi pada kegiatan menulis. Seseorang tidak bisa menulis artikel panjang apabila tidak berlatih membuat tulisan-tulisan pendek secara rutin. Budaya rutinitas menulis yang dibangun ini lambat laun akan membangkitkan mental menulis.

Setelah menjalani 30DWC ini, saya tersadar bahwa menulis itu tidak mudah. Berdasarkan pengalaman tersebut, berikut empat pelajaran terbaik yang saya dapatkan.


(1) Menulislah setiap hari dengan target kecil dan konsisten

Seorang penulis memiliki kesamaan dengan atlet lari maraton. Keduanya memerlukan sesi latihan rutin. Bukan jauhnya jarak yang disasar, melainkan frekwensi latihan dan konsistensinyalah yang harus dijaga. Rutinitas dan konsistensi ini yang nanti akan memberi kekuatan mental menulis.


(2) The reason of why

Perjalanan saya di 30DWC jilid 34 ini tidak mulus. Saya drop out di hari ke 10, tapi mampu bangkit dan kembali lagi menyelesaikan tantangan. The reason of why mengingatkan kembali niat dan komitmen saya ketika memutuskan mengikuti 30DWC. Alasan saya waktu itu adalah untuk belajar menulis, siapa tahu bisa jadi cuan. Teringat dengan the reason of why itu, saya membulatkan tekad menyelesaikan 17 hutang tulisan tidak lebih dari 3 hari.


(3) Hargai ide kecil

Saat akan menulis, terkadang saya tergoda untuk mencari tema-tema yang terdengar keren tapi ternyata susah untuk dikerjakan. Saya ingat, saat itu ada tantangan membuat 30 ide tulisan. Segala hal yang viral seperti Omicron, Metaverse, Covid masuk ke dalam daftar itu. Ternyata setelah saya menjalani, ide-ide besar itu bagus, tapi perlu energi ekstra untuk menggali fakta dan datanya sebelum menjadi tulisan. Dua puluh sembilan tulisan yang saya unggah ternyata semua berasal dari pengalaman pribadi yang tidak pernah terpikirkan di awal. Ide yang berangkat dari pengalaman pribadi inilah yang menyelamatkan saya untuk melunasi 17 tagihan tulisan.


(4) Support system

Bagi seorang penulis pemula atau orang yang tidak terbiasa menulis, tuntutan menulis setiap hari adalah pekerjaan berat. Maka dia membutuhkan teman. Di 30DWC ini saya mendapatkan support system yang luar biasa. Orang-orang hebat ini antara lain mentor super Kak Rezky Firmansyah dan Kak Rizka Amalia Shofa. Juga didukung oleh superteam luar biasa, ada Kak Jamal Irfani dan Kak Stephanie Prisca Dewi. Teman-teman yang tergabung di grup WA juga berperan penting. Mereka antara lain Kak Ika Indra, Kak Nun Fauziah Hasyim, Kak Dinda Pranata, Kak Gayatrikirana dan Kak Fajriyani. Soliditas support system inilah yang mampu memberi semangat, khususnya bagi penulis pemula yang mulai kehilangan arah seperti saya.


Akhir kata, 30DWC adalah latihan multidimensi. Di balik tuntutan setor tulisan, kita diasah dari sisi kognitif, afektif dan psikomotorik untuk mengolah dan merangkai ide kreatif dengan waktu yang sudah dibatasi. Menulis adalah pekerjaan berat layaknya lari maraton. Maka, rutinlah menulis apapun itu sesering mungkin. Salam 30DWC! 


#30DWCjilid34 #finalchallengejilid34

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda

Impact of Agrarian Change in Indonesia

Indonesia is a country that is facing a number of challenges related to food security and social protection, particularly in the context of agrarian change. On one hand, the country has seen an increase in agricultural productivity and exports, which has contributed to economic growth and development. On the other hand, this agrarian change has also led to a number of paradoxes, including a decline in food security and social protection for many of the country's most vulnerable citizens. One of the main drivers of agrarian change in Indonesia is the expansion of commercial agriculture, particularly in the form of large-scale oil palm and pulpwood plantations. This expansion has brought significant economic benefits to the country, including increased exports, foreign investment, and job creation. However, it has also led to the displacement of smallholder farmers, the destruction of natural habitats, and the loss of traditional livelihoods. This has had a negative impact on food se