Skip to main content

Kisah Runtu dan Suri (3): Terbang ke Timur

 Di cerita sebelumnya, Runtu dan Suri berbagi tugas. Runtu akan terbang melintasi savana mencari keberadaan rusa. Sedangkan Suri akan menunggu Runtu di sarangnya sambil menghemat energi untuk berburu. Kali ini kita akan mengikuti petualangan Runtu mencari kawanan rusa.


Perjalanan Runtu ke Timur sangat terbantu oleh hembusan angin dari belakang. Bantuan dorongan angin ini membuat Runtu bisa menghemat energi. Sebelumnya Runtu berpikir kalau kondisi angin tidak memungkinkan ke Timur, maka dia akan berputar arah. Sambil merentangkan sayap, Runtu tetap memasang telinga dan mata dengan waspada. Dari kedua indra tersebut, sebenarnya telinga Runtulah yang paling peka terhadap suara. Runtu bisa mendengarkan suara yang ada di bawah. Kemampuan pendengarannya yang tajam membantu mata Runtu untuk mencari lokasi rusa.

Runtu harap-harap cemas, karena perburuan ini lebih mudah dilakukan di padang savana. Rumput dan tutupan belukarnya yang pendek membuat perburuan mudah. Namun beda ceritanya kalau sudah sampai di tepi savana. Tutupan pohon di tepi savana makin rapat. Rapatnya tutupan pohon ini akan membuat pencarian semakin sulit. Terpaksanya Runtu melintas di area pepohonan, dia hanya bisa menggantungkan pencarian dengan pendengarannya saja.

Beberapa saat kemudian, sudah tiba di kolam air di sisi Timur savana. Runtu terbang berputar mengitari kolam air ini. Dari atas terlihat air semakin surut. Melihat kondisi ini, sepertinya sangat kecil kemungkinan akan ada hewan yang berkumpul untuk minum di sini.

"Kolam air ini nampak semakin surut. Sepertinya pencarianku tidak akan berhasil. Masak aku pulang ke sarang dengan tangan kosong?" kata Runtu dalam hati. 

Tidak ingin pulang tanpa hasil, Runtu berencana mencari jejak kawanan hewan di darat "Aku akan terbang mendekat ke pohon beringin di tepi kolam. Siapa tahu ada petunjuk di sana." Runtu menurunkan ketinggiannya dengan terbang cepat ke bawah mendekat ke pohon beringin tersebut.

Tak berapa lama, Runtu sudah berada di bawah beringin. Dia berjalan berputar berusaha mencari jejak kaki hewan yang masih baru. Runtu memilih mendekat ke beringin, karena biasanya banyak hewan yang akan berteduh di pohon ini untuk menghindari sengatan sinar matahari.

Runtu sudah tuntas mengelilingi beringin. Tapi tidak ada petunjuk yang didapatkan. Runtu penasaran, mengapa kolam ini seperti ditinggalkan dalam waktu lama. Untuk menjawab rasa penasarannya, Runtu terbang mendekat ke tepi kolam. Dia mencoba mencari jejak apapun yang tertinggal di tepi kolam.

Pada bagian lumpur yang kering, Runtu tidak menemukan jejak kaki hewan. Lumpur kering itu nampak pecah-pecah. Dia lalu mendekat ke sisi lumpur yang masih basah. Usaha Runtu membuahkan hasil. Ada jejak yang tertinggal di sana. Jejak ini terlihat masih baru. Sejenak Runtu mengamati jejak itu dengan dekat.

"Ada jejak baru. Melihat bentuknya, ini seperti jejak kelinci" kata Runtu pada dirinya sendiri. 

Runtu selanjutnya memutuskan untuk mengikuti ke mana jejak tersebut mengarah. "Jejak itu mengarah ke sisi Utara kolam. Runtu mengikuti jejak tersebut sampai masuk ke dalam semak belukar. Dari situ dia mencoba mencari lokasi yang mungkin menjadi sarang kelinci. Di balik belukar tadi ada lima lubang. Untuk memastikan lubang mana yang berisi kelinci tentu tidak mudah.

"Lubang mana yang akan dipilih ya? Sepertinya akan sulit mencari kalau kelinci masih bersembunyi di dalam lubang" pikir Runtu. Akhirnya diputuskan, Runtu akan bermalam di situ. Dia berkeliling mencari tempat tinggi agar memudahkan mengintai lubang. Setelah berkeliling mencari, ada beberapa pohon di sana. Runtu memutuskan untuk bertengger di pohon akasia.

"Aha, itu ada pohon akasia. Pohon ini letaknya strategis. Dari sini aku bisa melihat dengan jelas kelima lubang tadi. Aku pilih beristirahat di sini saja." tegas Runtu ke dirinya sendiri.

Hari itu Runtu sudah puas makan, sehingga tidak perlu dia mencari lagi hewan buruan di sore itu. Runtu memutuskan untuk beristirahat saja. Dia harus menghemat energi untuk penjelajahan hari berikutnya. Selanjutnya sambil beristirahat, Runtu memasang telinganya dengan waspada untuk mendengarkan pergerakan hewan yang mungkin ada di sekitar kolam. Hari berlalu, matahari terbenam. Dalam kegelapan malam itu, Runtu masih belum menemukan tanda-tanda kehidupan dari kelima lubang tadi. Dia putuskan untuk menunggu sampai subuh. Siapa tahu ada kelinci yang akan keluar sarang mencari makan atau air nanti pagi. 


Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...