Skip to main content

Siapa Bilang Layangan Belah Ketupat?

Terima kasih untuk Jakarta International Kite Festival (24-25 Juli 2010) yang sudah membuka cara pandangku pada layangan. Selama ini, jika mendengar kata layangan, visualku langsung terpaku layangan belah ketupat. Sebuah bentuk geometri dasar zaman SD. Sehebatnya layangan yang kutahu, maksimal yang berwarna-warni dan berekor panjang menjuntai. Penjabaran itu mungkin pas untuk layangan zaman kuda gigit besi. Tapi sekarang kuda udah gigit blekberi, jadinya sudah makin keci dengan bentuk 3 dimensi..;)

Para pelayang berasal dari klub layang baik lokal maupun internasional. Sekira 10 negara dari 4 benua menghadiri festival ini.

Putra Kinayungan Kite Club (PKKC) dari Cilacap merupakan salah satunya. Layangan mereka bernama Samber Nyawa, yang katanya berwujud kelelawar tersebut, bersayap besar dan lebar. Samber Nyawa sudah menyamber juara 1 pada festival layang internasional sebelumnya. Dan sebagai layang festival 3 dimensi, penampilannya luar biasa. Bersayap besar, menantang angin, melambung tinggi dan bertahan lama di langit. Membuat Samber Nyawa jadi lirikan mata pengunjung dan panitia di festival kali ini.

Setelah menikmati segala bentuk dan ilham yang mencerahkan, kenangan bermain masa kecil kembali muncul. Tapi... Tiba - tiba ada muncul ide, mau bikin layang sendiri. Bentuknya revolusioner, seperti pohon mangrove, kue tart, kamera DSLR,… apa lagi ya? Yang pasti akhir pekan minggu depan cari tanah lapang dan naikkan layang baru berbentuk pesawat tempur. Ayo bermain layang, supaya hati gembira dan senang. Sampai jumpa di festival layang berikutnya ;)

Comments

investasi emas said…
bu guru yang bilang,..
Hendra said…
yea.. setuju, tapi nampaknya perlu diubah persepsi seperti itu. betul tidak?

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Impact of Agrarian Change in Indonesia

Indonesia is a country that is facing a number of challenges related to food security and social protection, particularly in the context of agrarian change. On one hand, the country has seen an increase in agricultural productivity and exports, which has contributed to economic growth and development. On the other hand, this agrarian change has also led to a number of paradoxes, including a decline in food security and social protection for many of the country's most vulnerable citizens. One of the main drivers of agrarian change in Indonesia is the expansion of commercial agriculture, particularly in the form of large-scale oil palm and pulpwood plantations. This expansion has brought significant economic benefits to the country, including increased exports, foreign investment, and job creation. However, it has also led to the displacement of smallholder farmers, the destruction of natural habitats, and the loss of traditional livelihoods. This has had a negative impact on food se...