Robert Langdon sedang sibuk meninjau kartu-kartu catatannya ketika dengung roda-roda Town Car berubah di jalanan di bawahnya. Langdon mendongak, dan terkejut melihat daerah mereka berada.
Sudah di Jembatan Memorial?
Dia meletakkan catatan-catatannya dan memandang ke luar, ke perairan tenang Sungai Potomac yang mengalir di bawahnya. Kabut tebal melayang di atas permukaan. Foggy Bottom – nama yang cocok – selalu tampak ganjil sebagai tempat untuk membangun ibu kota negara. Dari semua tempat di Dunia Baru, para leluhur memilih rawa basah di tepi sungai untuk meletakkan batu pertama masyarakat utopia mereka.
Langdon memandang ke kiri, ke seberang Tidal Basin, ke arah siluet membulat anggun Jefferson Memorial – Pantheon Amerika, demikianlah banyak orang menyebutnya. Persis di depan mobil, Lincoln Memorial tegak dengan kesederhanaan kakunya, garis-garis ortogonalnya mengingatkan pada Kuil Parthenon kuno di Athena. Tapi lebih jauh lagi, barulah Langdon melihat bagian terpenting kota – menara yang sama yang telah dilihatnya dari udara. Insoirasi arsitekturaknya jauh, jauh lebih tua daripada bangsa Romawi atau Yunani.
Obelisk Mesir milik America.
Menara batu Monuma Washington menjulang kaku di depan, cemerlang dilatari langit bagaikan tiang megah kapal. Dari sudut miring penglihatan Langdon, malam ini obelisk itu tampak terverabut dari tanah ... bergoyang-goyang dilatari langit menjemukan, seakan berada di lautan gelora. Langdon merasa sama tercerabutnya. Kunjungannya ke Washington benar-benar di luar dugaan. Aku bangun pagi ini dengan mengahrapkan Minggu tenang di rumah ... dan kini aku berjarak beberapa menit dari U.S. Capitol.
Pagi tadi, pukul empat lewat empat puluh lima menit, Langdon melompat ke dalam air tenang, memulai hari seperti biasanya, berenang lima puluh putaran di Kolam Renang Harvard yang sepi. Perawakannya sudah tidak seperti pada masa kuliah dulu sebagai atlet polo air Amerika, tapi masih ramping dan berotot, cukup terhormat untuk lelaki di usia 40-an. Satu-satunya perbedaan hanyalah besarnya usaha yang dia perlukan untuk mempertahankannya.
Biasanya, ketika tiba di rumah sekitar pukul enam, Langdon memulai ritual pagi dengan menggiling biji-biji kopi Sumatra dan menikmati aroma eksotis yang memenuhi dapur. Akan tetapi, pagi ini dia dikejutkan oleh lampu merah yang berkedip-kedip di layar voice-mail-nya. Siapa yang menelepon pukul enam pagi di hari Minggu? Dia menekan tombol dan mendengarkan pesannya.
“Selamat pagi, Profesor Langdon, maaf sekali menelepon sepagi ini.” Suara sopan itu jelas terdengar bimbang, dengan sedikit aksen Selatan. ”Nama saya Anthony Jelbart, dan saya asisten eksekutif Peter Solomon. Kata Mr. Solomon, Anda selalu bangun pagi-pagi sekali ... beliau berusaha menghubungi Anda pagi ini karena urusan yang sangat mendesak. Segera setelah menerima pesan ini, bersediakah Anda menelepon langsung Peter? Mungkin Anda punya nomor telepon pribadinya, tapi jika tidak, nomornya 202-329-5746.”
Mendadak Langdon mengkhawatirkan teman lamanya itu. Peter Solomon bertabiat sangat baik dan sopan, dan pastilah bukan jenis orang yang menelepon di waktu fajar di hari Minggu, kecuali terjadi sesuatu yang gawat.
Langdon meninggalkan kopinya setengah matang dan bergegas menuju ruang kerja untuk membalas telepon itu.
Kuharap, dia baik-baik saja.
Peter Solomon adalah teman, mentor, dan walaupun usia mereka hanya terpaut dua belas tahun – merupakan sosok ayah bagi Langdon semenjak perjumpaan pertama mereka di Unoversitas Princeton. Sebagai mahasiswa tahun ke dua, Langdon diharuskan menghadiri kuliah dosen tamu malam hari yang disampaikan oleh sejarahwan dan filantrop muda yang sangat terkenal. Solomon bicara dengan kegairahan yang gampang menular, memberikan pandangan menakjubkan mengenai semiotika dan sejarah arketipe, yang menyalakan dalam diri Langdon minat yang kemudian menjadi kegairahan seumur hidupnya terhadap simbol. Akan tetapi, bukan kegeniusan Peter Solomon, melainkan kerendahan hati dalam mata kelabu lembut itu yang memberi Langdon keberanian untuk menulis surat ucapan terima kasih kepadanya. Mahasiswa tingkat dua itu tidak pernah bermimpi bahwa Peter Solomon, salah seorang intelektual muda paling memesona dan paling kaya di Amerika, akan membalas suratnya. Tapi Solomon melakukannya. Dan itu menjadi permulaan persahabatan yang benar-benar menyenangkan.
Seorang akademisi terkemuka yang bersikap tenangnya berlawanan dengan warisan luar biasanya, Peter Solomon datang dari keluarga Solomon nan mahakaya yang namanya terpampang pada bangunan-bangunan dan universitas-universitas di seluruh negeri. Seperti keluarga Rothschild di Eropa, nama keluarga Solomon selalu membawa aura mistik kebangsawanan dan kesuksesan Amerika. Peter mewarisi tanggung jawab itu di usia muda, setelah kematian ayahnya, dan kini, di usia 58, dia sudah memegang berbagai posisi berpengaruh dalam hidupnya. Baru-baru ini dia bekerja sebagai kepala Smithsonian Institution. Terkadang Langdon mengolok-oloknya, mengatakan bahwa satu-satunya noda pada latar belakang Peter yang hebat adalah diploma dari universitas nomor dua – Yale.
Kini, ketika memasuki ruang kerjanya, Langdon terkejut melihat bahwa dia juga menerima faks dari Peter.
Peter Solomon
KANTOR SEKRETARIS
SMITHSONIAN INSTITUTION
Selamat pagi, Robert,
Aku perlu bicara denganmu segera.
Telepon aku pagi ini secepat mungkin di 202-329-5746
Peter
Langdon langsung menghubungi nomor itu, seraya duduk di meja kayu oak ukiran-tangan dan menunggu teleponnya tersambung.
“Kantor Peter Solomon,” suara asisten yang sudah dikenalnya menjawab. ”Ini Anthony. Ada yang bisa dibantu?”
“Halo, ini Robert Langdon. Anda meninggalkan pesan untuk saya tadi“
”Ya, Profesor Langdon!” Pemuda itu kedengaran lega. “Terima kasih telah membalas telepon dengan cepat. Mr. Solomon ingin sekali berbicara dengan Anda. Beliau akan saya beri tahu kalau Anda menunggunya di telepon. Bisa tunggu sebentar?”
“Tentu saja.”
Sembari menunggu Solomon, Langdon memandang nama Peter di atas kop surat Smithsonian dan tidak bias menahan senyum. Tidak banyak pemalas dalam klan Solomon. Pohon silsilah Peter sarat dengan nama orang-orang bisnis penting dan kaya, politikus berpengaruh, dan sejumlah ilmuwan terkenal, beberapa bahkan anggota Royal Society London. Satu-satunya anggota keluarga Solomon yang masih hidup, adik perempuannya, Katherine, tampaknya mewarisi gen ilmu pengetahuan, karena dia kini menjadi sosok terkemuka dalam bidang ilmu termutakhir yang disebut Ilmu Noetic.
Semua asing bagiku, pikir Langdon, yang merasa geli ketika mengingat usaha sia-sia Katherine dalam menjelaskan Imu Noetic kepadanya di sebuah pesta di rumah Peter tahun lalu. Langdon mendengarkan dengan cermat, lalu menjawab, “Kedengarannya lebih mendekati sihir daripada ilmu pengetahuan.”
Katherine mengedipkan sebelah mata dengan jenaka. “Lebih dekat daripada yang kau pikirkan, Robert.”
Asisten Solomon kembali ke telepon. ”Maaf, Mr. Solomon sedang berusaha mengakhiri telepin-komferensi. Segalanya agak kacau pagi ini.”
“Tak masalah. Saya bias menelponnya lagi.”
“Sesungguhnya, beliau meminta saya memberi tahu Anda alas an beliau menghubungi Anda. Jika Anda tidak keberatan.”
“Tentu saja tidak.”
Asisten itu menghela napas dalam-dalam. ”Seperti yang mungin Anda ketahui, Profesor, setiap tahun di Washington, Dewan Smithsonian menyelenggarakan pesta privat sebagai ucapan terima kasih kepada para pendukung kami yang paling dermawan. Banyak kaun elite kebudayaan negeri ini hadir.
Langdon tahu, angka nol di rekening banknya terlalu sedikit untuk membuat dirinya pantas disebut sebagai kaum elite berbudaya, tapi dia bertanya-tanya dalam hati apakah Solomon hendak mengundangnya untuk menghadiri pesta itu.
“Tahun ini, seperti biasanya,“ lanjut asisten itu, “perjamuan makan malamnya akan didahului oleh pembicara utama. Kami cukup beruntung bisa menggunakan National Statuary Hall luntuk ceramah itu.”
Ruangan terbaik di seluruh DC, pikir Langdon, seraya mengingat ceramah politik yang pernah dihadirinya di ruangan semi melingkar yang dramatis itu. Sulit untuk melupakan lima ratus kursi lipat yang tersebar membantuk lengkungan sempurna, dikelilingi tiga puluh delapan patung seukuran manusia, di sebuah ruangan yang pernah berfungsi sebagai ruang asli House of Representatives.
”Masalahnya,” ujar lelaki itu. ”Pembicaraan kami sakit dan baru saja memberi tahu kalau beliau tidak akan bisa menyampaikan ceramah. ”Dia terdiam dengan canggung. ”Ini berarti kami harus mencari pembicara pengganti. Dan Mr. Solomon berharap Anda bersedia menggantikannya.
Langdon terpana. ”Saya?” Ini sama sekali di luar dugaan. ”Saya yakin Peter bisa menemukan pengganti yang jauh lebih baik.”
”Anda pilihan pertama Mr. Solomon, Profesor, dan Anda terlalu merendah. Tamu-tamu institut akan gembira mendengarkan ceramah Anda, dan menurut Mr. Solomon, Anda bisa menyampaikan ceramah yang sama yang Anda berikan untuk TV Bookspan beberapa tahun lalu? Dengan begitu, Anda tidak perlu menyiapkan apa-apa. Kata beliau, ceramah Anda menyangkut simbolisme dalam arsitektur ibu kota negara kita – kedengarannya benar-benar sempurna untuk acaranya.”
Langdon tidak begitu yakin. “Seingat saya, ceramah itu lebih berhubungan dengan latar belakang Masonik bangunan itu daripada –“
“Tepat sekali! Seperti yang Anda ketahui, Mr. Solomon anggota Mason, begitu juga sebagian besar teman profesionalnya yang akan hadir. Saya yakin mereka ingin sekali mendengar Anda membicarakan topik itu.”
Kuakui, itu pasti mudah. Langdon menyimpan catatan dari semua ceramah yang pernah disampaikannya. ”Mungkin bisa saya pertimbangkan. Tanggal berapa acaranya?”
Asisten itu berdeham, kedengarannya mendadak merasa tidak nyaman. ”Wah, sesungguhnya, Pak, acaranya mulai malam ini.”
Langdon tertawa keras-keras. ”Malam ini?”
”Itulah sebabnya mengapa pagi ini begitu sibuk di sini. Smithsonian Institute berada dalam situasi yang sangat memalukan ...” Kini asisten itu bicara lebih cepat. ”Mr. Solomon siap mengirimkan jet privat ke Boston untuk Anda. Penerbangannya hanya satu jam, dan Anda bisa pulang sebelum tengah malam. Anda tahu terminal udara privat di Bandara Logan Boston?”
”Ya,” dengan enggan Langdon mengakui. Tak heran keinginan Peter selalu terkabul.
“Bagus! Bersediakah Anda menjumpai jetnya di sana sekitar ... pukul lima?“
“Anda tidak memberi saya pilihan, bukan?” kekeh Langdon.
“Saya hanya ingin menyenangkan Mr. Solomon, Pak.”
Peter punya pengaruh seperti itu terhadap semua orang. Langdon mempertimbangkannya untuk waktu yang lama, dan tidak melihat adanya jalan keluar. “Baiklah. Beri tahu Peter, saya menyanggupinya.”
“Hebat!” teriak asisten itu, kedengarannya begitu lega. Dia memberi Langdon nomor jetnya dan berbagai informasi lain.
Ketika akhirnya menutup telepon, Langdon bertanya-tanya apakah Peter Solomon pernah mendapat jawaban tidak.
Saat kembali pada kesibukan menyiapkan kopinya, Langdon memasukkan beberapa butir lagi ke dalam penggilingan. Sedikit kafein tambahan pagi ini, pikirnya. Akan menjadi hari yang panjang. []
Sudah di Jembatan Memorial?
Dia meletakkan catatan-catatannya dan memandang ke luar, ke perairan tenang Sungai Potomac yang mengalir di bawahnya. Kabut tebal melayang di atas permukaan. Foggy Bottom – nama yang cocok – selalu tampak ganjil sebagai tempat untuk membangun ibu kota negara. Dari semua tempat di Dunia Baru, para leluhur memilih rawa basah di tepi sungai untuk meletakkan batu pertama masyarakat utopia mereka.
Langdon memandang ke kiri, ke seberang Tidal Basin, ke arah siluet membulat anggun Jefferson Memorial – Pantheon Amerika, demikianlah banyak orang menyebutnya. Persis di depan mobil, Lincoln Memorial tegak dengan kesederhanaan kakunya, garis-garis ortogonalnya mengingatkan pada Kuil Parthenon kuno di Athena. Tapi lebih jauh lagi, barulah Langdon melihat bagian terpenting kota – menara yang sama yang telah dilihatnya dari udara. Insoirasi arsitekturaknya jauh, jauh lebih tua daripada bangsa Romawi atau Yunani.
Obelisk Mesir milik America.
Menara batu Monuma Washington menjulang kaku di depan, cemerlang dilatari langit bagaikan tiang megah kapal. Dari sudut miring penglihatan Langdon, malam ini obelisk itu tampak terverabut dari tanah ... bergoyang-goyang dilatari langit menjemukan, seakan berada di lautan gelora. Langdon merasa sama tercerabutnya. Kunjungannya ke Washington benar-benar di luar dugaan. Aku bangun pagi ini dengan mengahrapkan Minggu tenang di rumah ... dan kini aku berjarak beberapa menit dari U.S. Capitol.
Pagi tadi, pukul empat lewat empat puluh lima menit, Langdon melompat ke dalam air tenang, memulai hari seperti biasanya, berenang lima puluh putaran di Kolam Renang Harvard yang sepi. Perawakannya sudah tidak seperti pada masa kuliah dulu sebagai atlet polo air Amerika, tapi masih ramping dan berotot, cukup terhormat untuk lelaki di usia 40-an. Satu-satunya perbedaan hanyalah besarnya usaha yang dia perlukan untuk mempertahankannya.
Biasanya, ketika tiba di rumah sekitar pukul enam, Langdon memulai ritual pagi dengan menggiling biji-biji kopi Sumatra dan menikmati aroma eksotis yang memenuhi dapur. Akan tetapi, pagi ini dia dikejutkan oleh lampu merah yang berkedip-kedip di layar voice-mail-nya. Siapa yang menelepon pukul enam pagi di hari Minggu? Dia menekan tombol dan mendengarkan pesannya.
“Selamat pagi, Profesor Langdon, maaf sekali menelepon sepagi ini.” Suara sopan itu jelas terdengar bimbang, dengan sedikit aksen Selatan. ”Nama saya Anthony Jelbart, dan saya asisten eksekutif Peter Solomon. Kata Mr. Solomon, Anda selalu bangun pagi-pagi sekali ... beliau berusaha menghubungi Anda pagi ini karena urusan yang sangat mendesak. Segera setelah menerima pesan ini, bersediakah Anda menelepon langsung Peter? Mungkin Anda punya nomor telepon pribadinya, tapi jika tidak, nomornya 202-329-5746.”
Mendadak Langdon mengkhawatirkan teman lamanya itu. Peter Solomon bertabiat sangat baik dan sopan, dan pastilah bukan jenis orang yang menelepon di waktu fajar di hari Minggu, kecuali terjadi sesuatu yang gawat.
Langdon meninggalkan kopinya setengah matang dan bergegas menuju ruang kerja untuk membalas telepon itu.
Kuharap, dia baik-baik saja.
Peter Solomon adalah teman, mentor, dan walaupun usia mereka hanya terpaut dua belas tahun – merupakan sosok ayah bagi Langdon semenjak perjumpaan pertama mereka di Unoversitas Princeton. Sebagai mahasiswa tahun ke dua, Langdon diharuskan menghadiri kuliah dosen tamu malam hari yang disampaikan oleh sejarahwan dan filantrop muda yang sangat terkenal. Solomon bicara dengan kegairahan yang gampang menular, memberikan pandangan menakjubkan mengenai semiotika dan sejarah arketipe, yang menyalakan dalam diri Langdon minat yang kemudian menjadi kegairahan seumur hidupnya terhadap simbol. Akan tetapi, bukan kegeniusan Peter Solomon, melainkan kerendahan hati dalam mata kelabu lembut itu yang memberi Langdon keberanian untuk menulis surat ucapan terima kasih kepadanya. Mahasiswa tingkat dua itu tidak pernah bermimpi bahwa Peter Solomon, salah seorang intelektual muda paling memesona dan paling kaya di Amerika, akan membalas suratnya. Tapi Solomon melakukannya. Dan itu menjadi permulaan persahabatan yang benar-benar menyenangkan.
Seorang akademisi terkemuka yang bersikap tenangnya berlawanan dengan warisan luar biasanya, Peter Solomon datang dari keluarga Solomon nan mahakaya yang namanya terpampang pada bangunan-bangunan dan universitas-universitas di seluruh negeri. Seperti keluarga Rothschild di Eropa, nama keluarga Solomon selalu membawa aura mistik kebangsawanan dan kesuksesan Amerika. Peter mewarisi tanggung jawab itu di usia muda, setelah kematian ayahnya, dan kini, di usia 58, dia sudah memegang berbagai posisi berpengaruh dalam hidupnya. Baru-baru ini dia bekerja sebagai kepala Smithsonian Institution. Terkadang Langdon mengolok-oloknya, mengatakan bahwa satu-satunya noda pada latar belakang Peter yang hebat adalah diploma dari universitas nomor dua – Yale.
Kini, ketika memasuki ruang kerjanya, Langdon terkejut melihat bahwa dia juga menerima faks dari Peter.
Peter Solomon
KANTOR SEKRETARIS
SMITHSONIAN INSTITUTION
Selamat pagi, Robert,
Aku perlu bicara denganmu segera.
Telepon aku pagi ini secepat mungkin di 202-329-5746
Peter
Langdon langsung menghubungi nomor itu, seraya duduk di meja kayu oak ukiran-tangan dan menunggu teleponnya tersambung.
“Kantor Peter Solomon,” suara asisten yang sudah dikenalnya menjawab. ”Ini Anthony. Ada yang bisa dibantu?”
“Halo, ini Robert Langdon. Anda meninggalkan pesan untuk saya tadi“
”Ya, Profesor Langdon!” Pemuda itu kedengaran lega. “Terima kasih telah membalas telepon dengan cepat. Mr. Solomon ingin sekali berbicara dengan Anda. Beliau akan saya beri tahu kalau Anda menunggunya di telepon. Bisa tunggu sebentar?”
“Tentu saja.”
Sembari menunggu Solomon, Langdon memandang nama Peter di atas kop surat Smithsonian dan tidak bias menahan senyum. Tidak banyak pemalas dalam klan Solomon. Pohon silsilah Peter sarat dengan nama orang-orang bisnis penting dan kaya, politikus berpengaruh, dan sejumlah ilmuwan terkenal, beberapa bahkan anggota Royal Society London. Satu-satunya anggota keluarga Solomon yang masih hidup, adik perempuannya, Katherine, tampaknya mewarisi gen ilmu pengetahuan, karena dia kini menjadi sosok terkemuka dalam bidang ilmu termutakhir yang disebut Ilmu Noetic.
Semua asing bagiku, pikir Langdon, yang merasa geli ketika mengingat usaha sia-sia Katherine dalam menjelaskan Imu Noetic kepadanya di sebuah pesta di rumah Peter tahun lalu. Langdon mendengarkan dengan cermat, lalu menjawab, “Kedengarannya lebih mendekati sihir daripada ilmu pengetahuan.”
Katherine mengedipkan sebelah mata dengan jenaka. “Lebih dekat daripada yang kau pikirkan, Robert.”
Asisten Solomon kembali ke telepon. ”Maaf, Mr. Solomon sedang berusaha mengakhiri telepin-komferensi. Segalanya agak kacau pagi ini.”
“Tak masalah. Saya bias menelponnya lagi.”
“Sesungguhnya, beliau meminta saya memberi tahu Anda alas an beliau menghubungi Anda. Jika Anda tidak keberatan.”
“Tentu saja tidak.”
Asisten itu menghela napas dalam-dalam. ”Seperti yang mungin Anda ketahui, Profesor, setiap tahun di Washington, Dewan Smithsonian menyelenggarakan pesta privat sebagai ucapan terima kasih kepada para pendukung kami yang paling dermawan. Banyak kaun elite kebudayaan negeri ini hadir.
Langdon tahu, angka nol di rekening banknya terlalu sedikit untuk membuat dirinya pantas disebut sebagai kaum elite berbudaya, tapi dia bertanya-tanya dalam hati apakah Solomon hendak mengundangnya untuk menghadiri pesta itu.
“Tahun ini, seperti biasanya,“ lanjut asisten itu, “perjamuan makan malamnya akan didahului oleh pembicara utama. Kami cukup beruntung bisa menggunakan National Statuary Hall luntuk ceramah itu.”
Ruangan terbaik di seluruh DC, pikir Langdon, seraya mengingat ceramah politik yang pernah dihadirinya di ruangan semi melingkar yang dramatis itu. Sulit untuk melupakan lima ratus kursi lipat yang tersebar membantuk lengkungan sempurna, dikelilingi tiga puluh delapan patung seukuran manusia, di sebuah ruangan yang pernah berfungsi sebagai ruang asli House of Representatives.
”Masalahnya,” ujar lelaki itu. ”Pembicaraan kami sakit dan baru saja memberi tahu kalau beliau tidak akan bisa menyampaikan ceramah. ”Dia terdiam dengan canggung. ”Ini berarti kami harus mencari pembicara pengganti. Dan Mr. Solomon berharap Anda bersedia menggantikannya.
Langdon terpana. ”Saya?” Ini sama sekali di luar dugaan. ”Saya yakin Peter bisa menemukan pengganti yang jauh lebih baik.”
”Anda pilihan pertama Mr. Solomon, Profesor, dan Anda terlalu merendah. Tamu-tamu institut akan gembira mendengarkan ceramah Anda, dan menurut Mr. Solomon, Anda bisa menyampaikan ceramah yang sama yang Anda berikan untuk TV Bookspan beberapa tahun lalu? Dengan begitu, Anda tidak perlu menyiapkan apa-apa. Kata beliau, ceramah Anda menyangkut simbolisme dalam arsitektur ibu kota negara kita – kedengarannya benar-benar sempurna untuk acaranya.”
Langdon tidak begitu yakin. “Seingat saya, ceramah itu lebih berhubungan dengan latar belakang Masonik bangunan itu daripada –“
“Tepat sekali! Seperti yang Anda ketahui, Mr. Solomon anggota Mason, begitu juga sebagian besar teman profesionalnya yang akan hadir. Saya yakin mereka ingin sekali mendengar Anda membicarakan topik itu.”
Kuakui, itu pasti mudah. Langdon menyimpan catatan dari semua ceramah yang pernah disampaikannya. ”Mungkin bisa saya pertimbangkan. Tanggal berapa acaranya?”
Asisten itu berdeham, kedengarannya mendadak merasa tidak nyaman. ”Wah, sesungguhnya, Pak, acaranya mulai malam ini.”
Langdon tertawa keras-keras. ”Malam ini?”
”Itulah sebabnya mengapa pagi ini begitu sibuk di sini. Smithsonian Institute berada dalam situasi yang sangat memalukan ...” Kini asisten itu bicara lebih cepat. ”Mr. Solomon siap mengirimkan jet privat ke Boston untuk Anda. Penerbangannya hanya satu jam, dan Anda bisa pulang sebelum tengah malam. Anda tahu terminal udara privat di Bandara Logan Boston?”
”Ya,” dengan enggan Langdon mengakui. Tak heran keinginan Peter selalu terkabul.
“Bagus! Bersediakah Anda menjumpai jetnya di sana sekitar ... pukul lima?“
“Anda tidak memberi saya pilihan, bukan?” kekeh Langdon.
“Saya hanya ingin menyenangkan Mr. Solomon, Pak.”
Peter punya pengaruh seperti itu terhadap semua orang. Langdon mempertimbangkannya untuk waktu yang lama, dan tidak melihat adanya jalan keluar. “Baiklah. Beri tahu Peter, saya menyanggupinya.”
“Hebat!” teriak asisten itu, kedengarannya begitu lega. Dia memberi Langdon nomor jetnya dan berbagai informasi lain.
Ketika akhirnya menutup telepon, Langdon bertanya-tanya apakah Peter Solomon pernah mendapat jawaban tidak.
Saat kembali pada kesibukan menyiapkan kopinya, Langdon memasukkan beberapa butir lagi ke dalam penggilingan. Sedikit kafein tambahan pagi ini, pikirnya. Akan menjadi hari yang panjang. []
Comments