Skip to main content

Bergerak untuk Perubahan

Jumlah sampah Jakarta saat ini mencapai 6.000 ton setiap harinya. Jumlah yang sangat mengerikan. Kita tidak dapat menyerahkan semua permasalahan ini kepada pemerintah kota. Penanganan sampah ini harus dilakukan sejak dari sumbernya, yaitu rumah tangga.

Sampah dan Perempuan

Dalam konteks rumah tangga, maka tidak dapat dipungkiri, perempuanlah yang memegang kendalinya. Betapa tidak, semua keperluan rumah tangga dikelola oleh kaum perempuan. Pemberdayaan kaum perempuan merupakan salah satu pintu masuk yang cukup menjanjikan.

Perlu kita sadari, pengetahuan tentang kepedulian lingkungan, mungkin tidak di dapat warga dengan merata. Walaupun usaha sosialisasi ini kerap dilakukan. Silahkan dibuktikan pada keluarga menengah ke bawah, berapa banyak yang sudah tahu bahwa sampah itu berbahaya bagi lingkungan dan pengelolaannya harus diperhatikan. Untuk keluarga menengah ke atas, mungkin informasi itu sudah kerap mereka dapatkan melalui berbagai media.

Oleh karena itu, untuk mempercepat penyampaian informasi ke warga, peran aktif warga sangatlah diperlukan. Dan sekali lagi, peran perempuan di masyarakat terbukti cukup efektif dibandingkan peran pria. Sebut saja lembaga PKK yang sudah jamak kita temui di masyarakat baik itu di kota maupun desa.

Peran kaum perempuan yang tergabung dalam PKK ini adalah salah satu peluang untuk melakukan perubahan di masyarakat. Jadi dapat dikatakan, PKK ini adalah kaum perempuan yang dapat dicerahkan dan menjadi motor penggerak warga.

Bergerak untuk Perubahan

Berkaca dari fakta di atas, perubahan itu ternyata bisa dilakukan mulai dari bawah. Jika selama ini kita menganggap segala sesuatu harus dimuai dari atas (pemerintah), ternyata dari bawah (warga) juga bisa melakukan perubahan.

Sekelompok pengurus PKK RW 4 Kapuk Muara merupakan model unsur perubahan tersebut. Mereka memiliki keprihatinan dengan tidak dikelolanya sampah rumah tangga dengan baik. Sampah tersebut sebgaian besar harus dibuang ke Kali Angke. Pemerintah setempat, sebenarnya sudah mengetahui permasalahan ini, namun sampai saat ini tidak terlihat aksi nyata mereka.

Warga yang tidak puas dengan kinerja pemerintah ini, akhirnya bergerak sendiri. Kegiatan yang dikoordinir oleh Ida Suwardyah (pengurus PKK) dan beberapa warga akhirnya mulai menunjukkan bentuk nyata kepedulian mereka. Dengan bekerjasama dengan Karang Taruna RW 4 dan komunitas Jakarta Green Monster mereka membuat Pawai Kreasi Barang Bekas pada peringatan Hari Kemerdekaan tahun 2008.

Berawal dari kegiatan itulah, akhirnya kaum perempuan ini ingin membentuk sebuah kelompok yang lebih mudah menampung warga dan anggota PKK. Terbentuklah kelompok kerja yang mereka sebut Seven Moms, yang berarti adalah Tujuh Ibu. Ke tujuh ibu inilah yang ingin bergerak untuk membuat perubahan bagi lingkungan mereka, khususnya pengelolaan sampah warga.

Kelompok yang terbentuk pada akhir Maret 2009 ini memiliki SDM yang luar biasa. Mereka memiliki keahlian di bidang menjahit, pelatihan, pemasaran dan keuangan. Motivasi utama terbentuknya Seven Moms adalah untuk memanfaatkan sampah warga yang masih dibuang sembarangan di Kali Angke. Sampah ini sebagian besar adalah sampah plastik, yang sebagian besar berupa bekas kemasan sachet minuman. Berbagai hasil kreasinya sangat memuaskan. Belajar dari buku keterampilan, mencari informasi sebanyak mungkin dan membangun jejaring dengan komunitas lain merupakan langkah jitu mereka untuk memperkaya pengetahuan dan gaya hidup sadar lingkungan.

Gagasan Baru

Prinsip mereka adalah Learning by Doing. Tujuan utama Seven Moms bukanlah peningkatan keuangan, tapi menyebarluaskan semangat peduli lingkungan dan mengurangi dampak sampah pada lingkungan. Jika mereka mendapatkan penghasilan tambahan, itu merupakan dampak ikutan kegiatan mereka. Tidak hanya berkreasi dengan bekas kemasan plastik, mereka juga membuka kelas pelatihan kreasi. Seven Moms pernah memfasilitasi beberapa komunitas untuk pelatihan kreasi bekas kemasan plastik. komunitas ini seperti Sanggar Ciliwung Bukit Duri, warga binaan program Penanggulangan Bencana Banjir Mercy Corps di wilayah Jakarta Barat, warga Pademangan Jakarta Utara.

Perubahan cara pandang warga pada pengelolaan sampah yang terjadi di Kapuk Muara ini merupakan satu langkah maju yang harus didukung oleh pemerintah setempat. Sampai saat ini, pemerintah setempat yang diminta untuk mendukung usaha pengelolaan sampah warga ini ternyata belum berjalan. Berbagai kendala birokrasi selalu menjadi alasan. Tanpa peran serta pemerintah, usaha kreatif warga ini tidak dapat berperan maksimal untuk memberi perubahan pola pikir masyarakat. Dengan kondisi yang ada sekarang, Seven Moms tetap optimis untuk tetap membawa gagasan baru dalam mengubah gaya hidup warga menjadi Ramah Sampah Demi Alam.

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...