Skip to main content

Ayo Bantu Hutan Mangrove Kita Bernafas!


Hutan mangrove merupakan sebuah ekosistem yang mempesona. Posisinya yang berada di muara sungai, membuat ekosistem ini berfungsi sebagai penjaga daratan utama dari gerusan angin dan gelombang laut. Selain itu juga berfungsi untuk menyaring air sungai sebelum keluar ke laut, sehingga air yang masuk ke laut tidak memberi ancaman bagi ekosistem laut. Namun, keberadaan hutan mangrove saat ini dipandang sebelah mata, sebab kondisinya yang berlumpur dan sering tergenang air, sering dianggap tidak nyaman untuk dikunjungi dan seolah tidak bernilai sama sekali.

Hutan mangrove yang masih tersisa di Jakarta luasannya hanya 170 hektar. Sebuah luasan yang terlampau kecil untuk menanggung peran lingkungan yang begitu besar bagi kota metropolitan Jakarta. Kondisi ini semakin diperparah dengan kondisi sungai yang mengalir di dekatnya, yaitu Kali Angke. Berbagai jenis sampah dapat dengan mudah ditemukan di sini. Mulai dari pembungkus makanan yang super kecil sampai kulkas dan ban mobil pun dapat dilihat dari dekat. Seolah tidak ada beda antara sungai dan tempat pembuangan sampah.

Berbagai sampah ini, akhirnya masuk ke dalam kawasan hutan mangrove saat air laut pasang naik. Well, sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan sampah di hutan mangrove dapat berdampak besar bagi kelangsungan hidup hewan dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Sampah plastik yang menutup akar mangrove dapat menyebabkan tumbuhan mangrove mati. Dengan matinya pohon ini, memberi dampak yang besar yaitu matinya hewan yang menggunakan pohon mangrove sebagai tempat bersarang dan tempat sumber makanan. Sebuah bencana yang terjadi secara pean tapi pasti.

Untuk mengurangi penderitaan hutan mangrove terakhir ini, relawan Jakarta Green Monster menggalang kepedulian warga Jakarta untuk terlibat dalam aksi bersih sampah. Aksi ini lebih cenderung ke arah kampanye pada publik akan pentingnya hutan mangrove, karena penyelesaian sampah bukanlah dilakukan saat sampah sudah menumpuk di hutan mangrove, tapi saat masih di rumah, sebelum sampah dibuang.

Kegiatan akan dilaksanakan pada Sabtu, 29 November 2008 di Suaka Margasatwa Muara Angke. Sebuah kawasan konservasi terkecil di Indonesia yang hanya sekitar 25 hektar. Target peserta kegiatan ini adalah ibu rumah tangga, siswa sekolah maupun profesional muda Jakarta yang masih memiliki kepedulian pada kelestarian hutan mangrove. Ditunggu Partisipasi saudara sekalian di hari H. Salam lingkungan !

Comments

Anonymous said…
hai hendra...lam kenal juga ya :)

di surabaya arek2 TPC juga ada acara mirip kek gitu, "nandur mangrove". seingatku dah 2x diadakan.

berita terkait dicek di sini ya:
http://asruldinazis.wordpress.com/2008/07/26/tpc-nandur-mangrove/

siapa tahu kapan2 bisa gabung hehehe
Hendra said…
wah keren juga, ternyata masih banyak komunitas yang peduli...hheheh :) okay insya Allah bisa kerja bareng arek2 TPC...
words fail me said…
yah............ ga bisa ikutan..........

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...