Skip to main content

Usia 1/4 Abad

Jika umurku 100 tahun, maka bisa ketebak donk arti judul itu. Menjadi seorang manusia berusia 1/4 abad sepertinya masih jauh kali ya dari mapan. Ada pepatah bilang "live begin 40", apakah itu benar? Ya kalau sudah harus menghadap Sang Paduka sebelum usia 40? Ga berlaku donk.. :)

Tapi diangka berapapun usia kita, sadarilah bahwa hidup itu sudah dimulai, bukan saat usia 40, tapi saat kita bisa bernafas, saat kita bisa berkarya. Ketika itulah hidup dimulai. Memang kemapanan (uang) sepertinya telah menjadi patokan utama untuk kesuksesan manusia. Tapi, coba kita berpikir keluar dari paradigma lama ini. Tentu hidup itu indah. Hidup memang menyenangkan saat kita bisa menikmati hidup.

Bagiku, di usia 1/4 abad ini, pencarian jati diri selalu melintas dibenakku. Untuk apa aku hidup, untuk apa aku bekerja, untuk apa aku menikah, untuk apa aku mempunyai pasangan, etc. Beberapa teman mengatakan, aku terlalu serius untuk menghadapi hidup. Apakah memang begitu? Entahlah, yang pasti aku sedang mencari makna sejati, sehingga aku bisa menghargai atas nafas dan tenaga yang dihembuskan padaku setiap hari.

Sang Khalik, beri aku pencerahan bagaimana aku menyikapi hidup ini dan bagaimana aku harus memperlakukan hidup yang telah Kau limpahi ini. Berilah makna dalam hidupmu sebelum kembali pada Sang Pemilik. Beri aku hikmat dan kebijaksanaan dalam setiap langkahku. Selamat ulang tahun ragaku, selamat ulang tahun jiwaku.

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...