Bagi warga Jakarta banjir awal tahun 2007, tentunya masih hangat membekas diingatan. Memori yang sama juga masih nyaman bersemayam di benak pikiranku. Seolah mimpi buruk dan pengalaman yang tak terlupakan seumur hidup itu terulang lagi.
Tanda-tanda keberadaan banjir besar itu sudah melongok di depan pintu seolah mengejek warfga Jakarta yang tidak cepat belajar dari pengalaman 10 bulan lalu. Tanda-tanda itu membawa ku kembali ke peristiwa 10 bulan lalu.
Ya, tanda itu sudah jelas terbaca. Hujan dengan intensitas kecil sampai lebat, dengan frekuensi yang sangat lama. Jam 10 malam 3 Desember 2007, hujan mulai mengguyur Jakarta. Saat itu aku mengantar keberangkatan Om ke tempat kerjanya. Sepanjang jalan yang kulewati disertasi gelegar halilintar dan tiupan angin, semakin menguatkan firasat ku, "Banjir akan datang."
Yup, tidak perlu menunggu lama, saat aku mengambil jalan pulang ke daerah Permata Hijau dari arah Slipi, beberapa jalur yang lumrah aku lalui saat itu menunjukkan gejala yang tidak normal. Tanda-tanda yang menguatkan firasat itu, di beberapa tempat air sudah menggenang, tingginya curah hujan, sungai grogol sudah mendekati batas akhir tampungnya.
Saat melalui perumahan TVRI, yang harusnya dekat dengan rumah aku. Saat itu buntu sama sekali. Untung saja aku mengurungkan niatku untuk menerobos genangan air itu, uhm.. jika tidak, entah bagaimana jadinya. Beberapa jalur alternatif yang kuambil juga terputus banjir.
Motor lalu aku arahkan ke bilangan Rawa Belong. Hasil nihil. Jalur tertutup banjir. Beberapa motor yang nekat menerobos akhirnya banjir di tengah jalan. Terpaksa aku harus memutar haluan, kembali lagi ke daerah aman. Beberapa jalan yang kulewati hampir terputus juga, tapi akhirnya dengan modal nekat, barikade air itu tertembus juga.
Gila, cepat sekali ekspansi air ini. Terhitung belum ada 1 jam, beberapa lokasi di Kebayoran Lama sudah terputus banjir. Segera aku memutuskan untuk menyelamatkan supra di tempat tinggi dan kering. Satu-satunya yang tersedia adalah SPBU depan puskesmas Kebayoran Lama.
Aku segera mempelajari situasi, mencari jalan keluar dari kepungan air ini. Kemudian aku berjalan kaki menembus banjir setinggi betis orang dewasa. di beberapa titik bahkan sudah sedalam lutut orang dewasa. Lama aku mengamati apa yang terjadi di depan ku itu.
Mengapa air cepat meluap? Jangankan selokan, kali Grogol saja hampir rata dengan jalan. Kalau aku berlama-lama di sini, bisa-bisa harus menginap sampai besok pagi. Karena tidak ada yang dapat kulakukan, daripada pasrah aku segera survey jalur evakuasi supra.
Jalur itu aku telusuri dengan jalan kaki. Aku amati bagaimana orang yang menggunakan jenis motor yang sama dapat selamat sampai di tempat aman. Survey ini bisa dibilang menjemukan, karena harus berjalan berbasah kuyup, ditambah penerangan dimatikan untuk keselamatan. Suasana serba mencekam. Walaupun intensitas hujan sudah tidak selebat beberapa jam yang lalu, tapi air semakin bertambah tinggi dan jalan semakin macet, karena banyaknya orang yang berhenti dan mengurungkan niatnya untuk menerobos banjir.
Setelah aku memahami jalur evakuasi yang akan ku lalui, aku kembali lagi ke SPBU untuk mengambil supra. Ku hidupkan supra lalu berdoa minta tuntunan Tuhan Yesus. Well, dengan semangat bushido, aku segera menerjang genangan air setinggi 30 cm itu. Sempat menabrak pembatas jalan, syukur tidak sampai jatuh. Genangan sepanjang 400 meter itu pun selamat aku lalui.
Tidak sampai di situ saja, masih ada jalur 500 meter lagi yang harus aku lalui. Setelah memahami kondisi dan cara orang mengambil jalan, akhirnya aku terobos juga rintangan air kedua. Alhamdulilah, akhirnya aku bisa selamat sampai jembatan pasar Kebayoran Lama. Saat aku mulai meninggalkan jebakan banjir itu dan mengarah ke rumah, terlihat antrian kendaraan dari dan ke Rawa Belong semakin bertambah parah saja.
Akhirnya aku menemukan jalur evakuasi yang tepat. Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dalam waktu 30 menit itu, harus aku lalui sampai 2 jam.
Setibanya di rumah. Hujan tak kunjung reda juga. Keesokan harinya, 4 Desember 2007, hujan masih juga mengguyur Jakarta. Hujan ini baru reda pukul 10 pagi.
Akibat dari hujan 12 jam ini beberapa tempat digenangi air, siaran berita Suara Metro juga memberitakan kemacetan yang melanda jalan-jalan utama Jakarta yang diakibatkan oleh genangan air ini. Peristiwa ini sempat mengerdilkan semangatku untuk kerja. Namun, setelah situasi agak kondusif aku beranikan diri keluar juga dengan tornado.
Ajaibnya, sepanjang jalan yang aku lalui kering. Seolah tidak pernah terjadi peristiwa yang diberitakan di radio. Apakah aku sedang bermimpi?
Tanda-tanda keberadaan banjir besar itu sudah melongok di depan pintu seolah mengejek warfga Jakarta yang tidak cepat belajar dari pengalaman 10 bulan lalu. Tanda-tanda itu membawa ku kembali ke peristiwa 10 bulan lalu.
Ya, tanda itu sudah jelas terbaca. Hujan dengan intensitas kecil sampai lebat, dengan frekuensi yang sangat lama. Jam 10 malam 3 Desember 2007, hujan mulai mengguyur Jakarta. Saat itu aku mengantar keberangkatan Om ke tempat kerjanya. Sepanjang jalan yang kulewati disertasi gelegar halilintar dan tiupan angin, semakin menguatkan firasat ku, "Banjir akan datang."
Yup, tidak perlu menunggu lama, saat aku mengambil jalan pulang ke daerah Permata Hijau dari arah Slipi, beberapa jalur yang lumrah aku lalui saat itu menunjukkan gejala yang tidak normal. Tanda-tanda yang menguatkan firasat itu, di beberapa tempat air sudah menggenang, tingginya curah hujan, sungai grogol sudah mendekati batas akhir tampungnya.
Saat melalui perumahan TVRI, yang harusnya dekat dengan rumah aku. Saat itu buntu sama sekali. Untung saja aku mengurungkan niatku untuk menerobos genangan air itu, uhm.. jika tidak, entah bagaimana jadinya. Beberapa jalur alternatif yang kuambil juga terputus banjir.
Motor lalu aku arahkan ke bilangan Rawa Belong. Hasil nihil. Jalur tertutup banjir. Beberapa motor yang nekat menerobos akhirnya banjir di tengah jalan. Terpaksa aku harus memutar haluan, kembali lagi ke daerah aman. Beberapa jalan yang kulewati hampir terputus juga, tapi akhirnya dengan modal nekat, barikade air itu tertembus juga.
Gila, cepat sekali ekspansi air ini. Terhitung belum ada 1 jam, beberapa lokasi di Kebayoran Lama sudah terputus banjir. Segera aku memutuskan untuk menyelamatkan supra di tempat tinggi dan kering. Satu-satunya yang tersedia adalah SPBU depan puskesmas Kebayoran Lama.
Aku segera mempelajari situasi, mencari jalan keluar dari kepungan air ini. Kemudian aku berjalan kaki menembus banjir setinggi betis orang dewasa. di beberapa titik bahkan sudah sedalam lutut orang dewasa. Lama aku mengamati apa yang terjadi di depan ku itu.
Mengapa air cepat meluap? Jangankan selokan, kali Grogol saja hampir rata dengan jalan. Kalau aku berlama-lama di sini, bisa-bisa harus menginap sampai besok pagi. Karena tidak ada yang dapat kulakukan, daripada pasrah aku segera survey jalur evakuasi supra.
Jalur itu aku telusuri dengan jalan kaki. Aku amati bagaimana orang yang menggunakan jenis motor yang sama dapat selamat sampai di tempat aman. Survey ini bisa dibilang menjemukan, karena harus berjalan berbasah kuyup, ditambah penerangan dimatikan untuk keselamatan. Suasana serba mencekam. Walaupun intensitas hujan sudah tidak selebat beberapa jam yang lalu, tapi air semakin bertambah tinggi dan jalan semakin macet, karena banyaknya orang yang berhenti dan mengurungkan niatnya untuk menerobos banjir.
Setelah aku memahami jalur evakuasi yang akan ku lalui, aku kembali lagi ke SPBU untuk mengambil supra. Ku hidupkan supra lalu berdoa minta tuntunan Tuhan Yesus. Well, dengan semangat bushido, aku segera menerjang genangan air setinggi 30 cm itu. Sempat menabrak pembatas jalan, syukur tidak sampai jatuh. Genangan sepanjang 400 meter itu pun selamat aku lalui.
Tidak sampai di situ saja, masih ada jalur 500 meter lagi yang harus aku lalui. Setelah memahami kondisi dan cara orang mengambil jalan, akhirnya aku terobos juga rintangan air kedua. Alhamdulilah, akhirnya aku bisa selamat sampai jembatan pasar Kebayoran Lama. Saat aku mulai meninggalkan jebakan banjir itu dan mengarah ke rumah, terlihat antrian kendaraan dari dan ke Rawa Belong semakin bertambah parah saja.
Akhirnya aku menemukan jalur evakuasi yang tepat. Perjalanan yang seharusnya dapat ditempuh dalam waktu 30 menit itu, harus aku lalui sampai 2 jam.
Setibanya di rumah. Hujan tak kunjung reda juga. Keesokan harinya, 4 Desember 2007, hujan masih juga mengguyur Jakarta. Hujan ini baru reda pukul 10 pagi.
Akibat dari hujan 12 jam ini beberapa tempat digenangi air, siaran berita Suara Metro juga memberitakan kemacetan yang melanda jalan-jalan utama Jakarta yang diakibatkan oleh genangan air ini. Peristiwa ini sempat mengerdilkan semangatku untuk kerja. Namun, setelah situasi agak kondusif aku beranikan diri keluar juga dengan tornado.
Ajaibnya, sepanjang jalan yang aku lalui kering. Seolah tidak pernah terjadi peristiwa yang diberitakan di radio. Apakah aku sedang bermimpi?
Comments