Pengelolaan perusahaan dengan cara ini sangatlah menguntungkan. Betapa tidak, penghematan pengeluaran untuk pengadaan sumber daya manusia dan sumber daya perusahaan adalah janji yang diberikan dengan menerapkan outsourcing.
Kini beberapa perusahaan besar Jakarta memanfaatkan pihak ketiga yang menyediakan persewaan kendaraan. Harga sewa ini tentunya jauh lebih murah dibanding kalau perusahaan harus membeli kendaraan sendiri. Belum lagi masalah perawatan kendaraan selama pemakaian. Hitung saja berapa biaya perbaikan untuk sekian unit kendaraan.
Dengan memanfaatkan jasa pihak ketiga, masalah perawatan sudah termasuk dalam perjanjian kerjasama. Jadi perusahaan tidak usah pusing lagi. Satu janji yang sangat menguntungkan.
Contoh outsourcing yang mudah adalah pada saat melangsungkan pernikahan. Kini sudah umum orang menggunakan jasa event organizer (EO). Mulai dari sewa gedung, dekorasi, sewa mobil, sewa gaun, katering, persiapan di gereja, kontak pendeta, dokumentasi, pesta resepsi, tamu undangan semua hal yang rumit itu kini bisa dilakukan oleh pihak ketiga. Bagi yang sudah menikah tentu pernah merasakan kerumitan tersebut. Dengan adanya pihak ketiga yang membantu (EO) semua terasa ringan. Jika dibandingkan biaya yang dikeluarkan apabila ditangani sendiri, bisa jadi lebih murah kalau memakai jasa EO.
Pengelolaan oleh pihak ketiga (outsourcing) tentu hal yang perlu dipertimbangkan lagi. Dari segi biaya dan energi akan menghemat sangat banyak. Seperti jargon ”serahkan pada ahlinya”, kira-kira itulah alasan kita menggunakan jasa outsourcing.
Jika pemikiran ini kita analogikan dengan pengelolaan negara, mengapa tidak? Saya sampai tidak habis pikir dengan perseteruan antara Indonesia dengan Malaysia (Malon). Perseteruan ini berawal saat beberapa ikon Indonesia dicomot Malon dan diakui sebagai milik Malon. Melihat perseteruan ini, sepertinya menghabiskan banyak energi percuma. Kalau dari segi bisnis sudah rugi berapa ratus juta saja hanya untuk klarifikasi, permintaan maaf dan hal konyol lainnya. Bukannya saya pro Malon, tapi sangat menyangkan langkah yang diambil pemerintah yang masih kolot.
Menurut pandangan saya, Malon itu kelebihan budget sedangkan aset pariwisata yang digarap tidak ada. Sebaliknya, Indonesia berlimpah dengan aset pariwisata, namun budget pengelolaanya? entahlah jangan ditanya. Dari analisa sederhana tersebut, sebenarnya kedua negara serumpun ini harusnya bisa saling memanfaatkan dan menguntungkan. Daripada mengeluarkan statement saling cela dan Malon membajak praktisi kebudayaan Indonesia untuk membangun pariwisata Malon. Banyak hal yang terbuang percuma.
Seandainya para pengambil kebijakan di atas sana mau berpikir jernih, toh tidak ada salahnya kalau pariwisata Indonesia digarap oleh Malon. Kurangnya perhatian pemerintah pada kelimpahan aset pariwisata yang membuat industri pariwisata kita tidak maju. Kalau sikap pemerintah tetap tertutup, pengelolaan pariwisata oleh bangsa sendiri? Saya tidak yakin, berapa lama aset pariwisata kita bisa bertahan. Ya, kalau masih bisa bertahan, kalau lenyap dari peredaran secara perlahan karena tidak menguntungkan? Ini pasti lebih mengecewakan. Apakah itu yang dituju?
Masih dalam dunia berandai-andai. Pengelolaan aset pariwisata Indonesia oleh Malon sebaiknya dikemas sebagai kerjasama bilateral. Dengan adanya kerjasama seperti ini, hubungan negara serumpun tetap terjaga. Kedua negara bisa saling menguntungkan dalam banyak hal, misal sumber daya manusia bidang pariwisata Indonesia kemampuannya bisa semakin berkembang, aset pariwisata Indonesia bisa tetap terjaga, ekonomi warga bisa meningkat seiiring banyaknya kunjungan wisatawan serta adanya pertambahan devisa negara.
Hal yang tidak kalah pentinnya adalah, pengelolaan ini tidak selamanya dilakukan Malon. Jadi sampai kapan Malon mengelola? Setelah semua sektor aman. Baik dari segi keuangan negara, perkenomian warga, pengemasan promosi yang layak jual, penataan kawasan yang nyaman, kesiapan SDM pengelola, praktisi kepariwisataan sudah memiliki keahlian yang memadai mulailah kita bisa mengelola pariwisata Indonesia secara profesional. Satu hal yang sangat mungkin jika akan dicoba di dunia nyata, karena dalam dunia perandaian semua berjalan dengan normal.
Kalau kita tidak berani mencoba hal ini, perseteruan negara serumpun ini tentu akan selalu jadi tajuk berita tiap hari. Apakah selamanya sebagai bangsa beradab mau melakukan hal-hal yang biadab? Jalan keluar terbaik adalah ”serahkan pada ahlinya.”
Comments