Skip to main content

Berpikirlah Sebelum Bertindak

Oleh : Pendeta Jan H. Rapar

Konon pada suatu hari, seekor serigala terjerat ekornya. Ia berusaha melepaskan ekornya tapi sia-sia. Akhirnya ia berpikir daripada ia tertangkap lebih baik ia memutuskan ekornya.


Di tengah perjalanan kembali ke kelompok teman-temannya, ia berpikir bagaimana agar teman-temannya pun bisa buntung ekornya seperti dia. Akhirnya ia memperoleh gagasan yang bagus!


Ketika ia telah berada di tengah-tengah kelompoknya, ia pun langsung angkat bicara! ”Teman-teman, lihat aku sekarang bisa berlari lebih cepat dan merasa begitu ringan dan bebas karena aku telah memotong ekorku! Ekorku itu tidak lebih daripada suatu beban yang sangat merintangi kebebasan kita. Cobalah tiru aku, dan kalian akan merasa betapa indahnya hidup tanpa ekor!”


Beberapa serigala muda berpikir bahwa apa yang dikatakan itu memang masuk akal dan oleh karena itu mereka ingin segera memotong ekor mereka. Tiba-tiba seekor serigala tua berkata, ”Teman-teman jangan cepat-cepat bertindak! Pikir dulu baik-baik. Sesudah kita memotong ekor kita, dan suatu waktu kita membutuhkannya, apakah kita dapat menyambung kembali ekor yang sudah dipotong itu?” Tidak seekorpun serigala yang hadir di situ yang dapat menjawab. Akhirnya mereka tahu bahwa mereka hendak ditipu.


Ada banyak gagasan dan anjuran yang kedengarannya baik dan rasional tetapi sebenarnya merugikan! Pikirkanlah dengan matang gagasan-gagasan dana njuran-anjuran itu sebelum anda bertindak.


Sumber : Gema ”Effatha” Minggu, 11 November 2007

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...