Skip to main content

Sinar Matahari Menurunkan Penyakit Getah Bening

NEW YORK- Para dokter menemukan dengan rekreasi mandi sinar matahari nyata-nyata berkaitan dengan penurunan resiko penyakit kanker pada sistim pembentuk getah bening. Peneliti-peneliti dari Jerman melaporkan di Journal of Cancer.


Mereka juga mendapati kaitan ini sangat kuat untuk beberapa jenis kelenjar getah (lymphoma) bening.


Laporan tentang kaitan antara sinar Ultraviolet (UV) dengan penyakit pada getah bening menghasilkan kesimpulan yang simpang siur. Ini mungkin disebabkan karena kesulitan dalam mengukur intensitas penyinaran matahari.


Dr. Thomas Weilhkopf dkk. dari Johannes-Gutenberg University, Mainz, kemudian melakukan serangkaian pengujian terhadap keterkaitan UV dengan penyakit limpa yang ganas itu dalam beberapa uji coba. Termasuk kegiatan bersantai diluar rumah, acara-acara liburan, penggunaan sun bed dan memasang alat ukur intensitas UV.


Percobaan ini melibatkan 710 pasien pengidap malignant lymphoma (penyakit getah bening yang ganas) dari 6 wilayah di Jerman kemudian mencocokkannya dengan gambaran individu dari polpulasi yang terdaftar.


Jumlah orang yang senang mandi sinar matahari mempunyai keterkaitan yang sebaliknya dari jumlah yang terdiagnosis terkena penyakit ini. Khususnya Hodgkin lymphoma dan B-non-Hodgkin lymphoma. Tulis laporan para peneliti tersebut. Setelah dipertimbangkan dengan faktor lain yang berkaitan dengan resiko lymphoma, para peneliti tesebut menemukan bahwa orang yang banyak memanfaatkan waktunya tinggal di daerah yang cukup sinar matahari selama lebih dari 1.190 hari (kumulatif) mempunyai resiko terkena penyakit limpa 60 persen lebih rendah dibanding mereka yang yang hanya melakukan hal yang sama kurang dari 350 hari (komulatif).


Terlalu sering bersantai ria dibawah sinar matahari ternyata juga mempunyai keterkaitan yang berarti terhadap kenaikan resiko T-non-Hodgkin lymphoma dan follicular lymphoma.


Para peneliti mencatat ada kecenderungan menurun jumlah penderita lymphoma yang terdiagnosis. Pada mereka yang sering menggunakan sun bed atau sunlamp tidak mempunyai keterkaitan dengan B-non-Hodgkin lymphoma dan penyebaran luas B-cell lymphoma.


Bila semua faktor resiko lymphoma yang tergolong potensial dimasukkan dalam pertimbangan ketika membuat analisis, akan disimpulkan "menunjukkan kemungkinan liburan didaerah yang cukup sinar matahari dan dari penggunan sun bed dapat menjadi proteksi independent melawan malignant lymphoma", demikianlah kesimpulan yang mereka buat.


Mereka juga berpendapat, kemungkinan penjelasan untuk efek perlindungan ini tergantung pada hasil simulasi produksi vitamin D atau dalam modulasi dari "T-cell immunology" yang dilakukan oleh sinar ultra violet (UV)


Sumber : International Journal of Cancer, June 1,2007

http://en.epochtimes.com/news/7-6-11/56362.html

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...