Skip to main content

Hostel di Lucasbolwerk 4

Cerita sebelumnya saya dan ke 17 teman tiba di Utrecht hari Minggu dan bus yang kami tumpangi membuat peyok sebuah sepeda di depan tempat kami menginap. Sejak hari itu, saya dan teman-teman "Menduduki Belanda" selama beberapa minggu lamanya.

Cerita pendudukan di Belanda tersebut akan dibagi dalam beberapa potongan cerita pendek. Kita mulai dari penginapan.

Penginapan

Selama pendudukan Belanda kami menginap di The Studenthostel B&B Utrecht City Center. Hostel ini berada di Jalan Lucasbolwerk 4. Hostel ini berada di pusat keramaian Utrecht. Berada tepat di selatan Teater Kota Utrecht. Tempat yang sangat strategis untuk dijangkau tapi tidak untuk dihuni selama lebih dari 2 hari.

Pertama tiba di hostel ini, jauh dari sangkaan saya dan teman-teman. Mengingat status kami sebagai penerima beasiswa pemerintah Belanda dan Universitas Utrecht, kami membayangkan akan tinggal di tempat yang cocok untuk belajar. Sebut saja asrama kampus. Tapi kami mendapatkan sebuah hostel untuk kelas backpacker. Sangat jauh dari bayangan kami.

Tiba di penginapan tersebut, ruangan untuk kami menginap belumlah siap. Kami harus menunggu beberapa saat sampai penghuni kamar sebelumnya check out. Namanya hostel, fasilitasnya tentu di bawah dari hotel yang nyaman, ya minimal asrama kampus.

Saya paling ingat adalah bau klorin. Bau ini semerbak wangi menyebar di seantero ruangan. Sepertinya klorin banyak digunakan untuk membersihkan ruangan sekaligus disinfektan mujarab.

Kamar yang saya dapatkan bersama teman-teman berada di tepi jalan. Ya benar, tepat di tepi jalan. Dari tempat tidur saya bisa melihat ke seberang jalan, ke arah taman Teater Kota Utrecht. Kamar di tepi jalan bukanlah pilihan yang bagus, karena angin dingin dengan mudah masuk ke dalam kamar melalui celah jendela. Syukur jendela kamar di tutup mati, sehingga tidak bisa dibuka dari luar. Tapi, angin dingin yang masuk kamar tetap tidak tertahankan. 

Selimut, baju hangat "long john" dan lapisan baju lainnya menjadi tameng udara dingin. Sebenarnya ada pemanas ruangan, tapi entah mengapa pemanas ruangan itu terasa imut. Energi panas yang dikeluarkan tidak sanggup menghangatkan kamar yang temaram. 

Ya betul, kamar kami temaram. Tidak ada lampu baca. Dan ini sangat merepotkan kalau mengerjakan tugas dari kampus. Biasanya kami akan naik ke lantai dua di common room. Ruangan ini menjadi tempat bersosialisasi antar penghuni hostel. Tempat yang lumayan lega dan bersahabat.

Urusan mandi, tersedia kamar mandi dalam ruangan. Lagi, dengan lampu redup nyaris gulita. Sepertinya pengelola hostel ini pelit pasang lampu terang. Saya pikir bisa jadi memang pelit. Protes sudah kami layangkan ke pengelola, tapi tidak ada tanggapan. Ya sudahlah. Selama ada tempat menginap disyukuri saja.

Oya, kamar mandinya cukup luas. Saya tidak tahu mengapa kamar mandi ini dibuat luas. Apakah untuk mandi bersama? Ah sudahlah. Yang penting ada air mengalir. Tersedia air hangat. Itu sudah cukup. Biasanya di pagi hari ketika bersiap ke kampus, udaranya sangat dingin. Untuk beranjak dari tempat tidur saja butuh motivasi luar biasa. Air hangat di pagi hari bisa membuat mata terjaga dan bersiap kuliah.

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda

Impact of Agrarian Change in Indonesia

Indonesia is a country that is facing a number of challenges related to food security and social protection, particularly in the context of agrarian change. On one hand, the country has seen an increase in agricultural productivity and exports, which has contributed to economic growth and development. On the other hand, this agrarian change has also led to a number of paradoxes, including a decline in food security and social protection for many of the country's most vulnerable citizens. One of the main drivers of agrarian change in Indonesia is the expansion of commercial agriculture, particularly in the form of large-scale oil palm and pulpwood plantations. This expansion has brought significant economic benefits to the country, including increased exports, foreign investment, and job creation. However, it has also led to the displacement of smallholder farmers, the destruction of natural habitats, and the loss of traditional livelihoods. This has had a negative impact on food se

4 Pelajaran Terbaik yang Saya Dapatkan di 30DWC Jilid 34

Rabu, 19 Januari 2022 adalah akhir dari tantangan 30 hari menulis tanpa henti. Kami menyebutnya 30DWC (30 Days Writing Challenge ). Kegiatan yang saya ikuti ini sudah sampai pada jilid ke 34. Program 30DWC ini dirancang untuk melatih kebiasaan menulis bagi mereka yang mau membiasakan diri menulis.  Saya mengikuti 30DWC ini karena memang ingin menantang diri saya sendiri. Apakah saya bisa menulis setiap hari tanpa henti? Ya, ternyata saya bisa. Selama sembilan hari saya sangat bersemangat. Setiap hari saya mengunggah tulisan di blog pribadi. Tercatat ada 2 tulisan non fiksi dan tujuh tulisan fiksi berupa cerpen bersambung. Namun, konsistensi menulis itu hanya bertahan sampai hari kesembilan. Memasuki hari kesepuluh, saya sudah tidak sanggup. Kemudian mundur secara konsisten dan menghilang ditelan kesibukan.  Enam hari menjelang berakhirnya 30DWC, semangat menulis kembali muncul karena dorongan dari teman-teman. Saya lalu menyemangati diri sendiri, bahwa saya bisa menuntaskan perjalanan