Skip to main content

Efek Ghozali: Disrupsi Ekonomi Digital

Beberapa waktu lalu kita digemparkan dengan foto Ghozali yang laku di pasar digital bernilai miliaran. Foto tersebut dijual melalui platform NFT bernama Open Sea. NFT bisa memiliki peluang sebagai instrumen investasi jangka panjang. Buktinya Ghozali melalui akunnya Ghozali Everyday yang aktif posting foto bisa datangkan cuan bernilai Rp 13,8 milyar dalam jangka waktu 4 tahun. 

Siapa sangka dunia digital dan ekonomi digital akan sedisruptive ini. Ghozali sudah membuktikan, bahwa inovator yang menciptakan demand dan market nya sendiri akan menjadi pioner bisnis baru di era digital ini.

Era disruptive membuat segala yang dulunya aneh, justru sekarang dicari. Segala keanehan tersebut lalu difasilitasi oleh sebuah ekosistem berbasis internet, sebut saja namanya NFT. NFT merupakan singkatan dari non-fungible token. Arti non-fungible adalah suatu objek unik yang tidak dapat dipertukarkan. Sifatnya yang unik berarti objek tersebut hanya ada satu yang asli. 

Pada prinsipnya objek NFT bisa diduplikasi, tapi orisinalitasnya menjadi nilai lebih suatu objek NFT. Sedangkan arti token merujuk pada berkas digital yang tersimpan di suatu blockchain. Berkas digital ini memuat sertifikat keaslian atau kepemilikan suatu objek NFT. 

Padanannya seperti jual beli lukisan karya seorang maestro lukis dunia, seperti contohnya Raden Saleh. Pada 2 Desember 2021 lalu, sebuah lukisan Raden Saleh berjudul A View of Mount Megamendung laku di pasar lelang internasional senilai Rp  36 miliar. 

Karya yang dibuat tahun 1861 tersebut bernilai tinggi karena memang dibuktikan adanya bukti orisinalitas karya dengan adanya tanda tangan Raden Saleh di lukisan tersebut. Selain itu pamor nama sang pelukis juga ikut mendongkrak harga jualnya.

Pemilik lukisan Raden Saleh tersebut adalah seorang kolektor dari Inggris. Apakah lukisan bisa direproduksi? Tentu bisa. Namun kualitas keaslian lukisan akan selalu diperiksa oleh para ahlinya. Ada orang-orang yang memiliki keahlian khusus untuk menilai keaslian sebuah lukisan. Inilah yang menentukan apakah karya tersebut asli atau tiruan.

Ekosistem digital baru ini membuat setiap orang bisa menjadi content creator. Ketika kreasi yang diunggah banyak dicari, alias viral, mulailah cuan berdatangan. Kurang lebih formulasi kondisi tersebut bisa di tuliskan sebagai :

((Ide Liar + Kegokilan Ekspresi)NFT) ^ Derajat Keviralan = Cuan

Bila seorang kreator bisa membaca peluang dan menciptakan demand nya sendiri, maka pasar akan terbentuk. Untuk mengunggah konten2 yang inovatif dan kreatif di NFT juga perlu dibungkus semangat PD tingkat dewa. Teguh berpegang pada prinsip. Seperti kata pepatah "Biar anjing mengguguk, karena klo ngeong namanya kucing." Atau bisa disamakan dengan judul lagu jadul Frank Sinatra yang masih beken sampai sekarang : "My Way."

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...