Skip to main content

Dua Ruangan Favorit: Common Room dan Dapur

Hostel yang kami tempati memiliki sebuah common room. Ruangan ini merupakan tempat untuk bersosialisasi dengan para penghuni lainnya. Kebanyakan adalah backpaker. Orang-orang yang saya temui ada dari Polandia, Jerman, Ceko.

Common room ini terdiri atas meja dan bangku. Layaknya resto kalau di hotel. Ada sebuah pesawat TV yang menayangkan program acara bahasa Belanda. Sebenarnya suka-suka yang memegang remote TV. Bisa diganti sesuai selera.

Di ruangan yang minimalis ini ada sebuah baby grand piano. Pikirku dalam hati, bagaimana sebuah piano bisa masuk ke ruangan minimalis ini? Untuk naik ke common room saja kami harus meniti tangga berputar yang curam. Tentu perlu trik khusus untuk menempatkan piano ini di common room. Selain piano ada juga gitar akustik dan drum Afrika, kalau tidak jimbe sepertinya bongo.

Di common room ini saya bertemu dengan orang Polandia yang gemar bertualang. Saat itu dia tinggal cukup lama di hostel. Kami sering bertemu dan bermain gitar. Mulai dari lagu Rusia sampai lagu Israel. Saya menduga dia orang Polandia Yahudi karena tahu lagi kebangsaan Israel. Namun hal ini tidak pernah saya konfirmasi langsung. Ini hanya dugaan saya saja.

Kemudian saya pernah juga ngobrol denganorang Jerman. Kalau tidak salah dua perempuan Jerman yang sedang backpaking ke Belanda. Bermodal gitar dan lagu Jerman jadul berdulu Du bisa membuat mereka tertawa gembira. Lagu Du ini adalah lagu berbahasa Jerman yang dinyanyikan Peter Mafay dan sempat beken di Indonesia. Saya sering dengar lagu ini di putar di radio di pagi hari.

Seperti kata pepatah, musik adalah bahasa universal. Apapun latar belakangmu, ketika kita bermusik maka perbedaan itu hilang dan kita bisa menjadi satu.

***

Ruangan favorit saya selanjutnya adalah dapur. Di dapur ini tersedia lemari es maha besar. Menyimpan berbagai macam jenis daging, susu, keju, bir. Tapi tidak untuk sayur, dan beras Asupan karbohidrat sebenarnya ada kentang. Tapi kami tidak tahu cara mengolah kentang tersebut. Akhirnya pilihan kami tetap kembali ke beras, makanan pokok kami orang Indonesia.

Sebelum berangkat ke kampus, biasanya petugas hostel sudah menyiapkan panekuk gratis. Bisa dimakan siapa saja dan tersedia di meja. Selain itu juga ada apel dan roti tawar. Untuk sarapan, saya biasanya menyantap panekuk. Lalu membawa roti, diisi lapisan keju, ham dan sebutir apel. Beberapa kali juga saya membawa telur rebut. Telur ini kami beli di pasar. 

Sepulang kampus, kami sudah membagi tim kerja. Siapa yang dapat jatah belanja hari itu. Tim inilah yang akan menentukan menu makan malam dan bertugas belanja di pasar. Untuk hal ini, saya bukan ahlinya. Teman-teman perempuan yang banyak mengambil alih hal ini. Tugas saya hanya membantu masak dan mencuci perkakas masak.


Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...