Skip to main content

Kisah Runtu dan Suri (5): Berburu Dini Hari

Cerita sebelumnya, Runtu bernegosiasi dengan kelinci di ceruk batu. Kelinci meminta Runtu mencari wortel untuk bekal perjalanan kelinci. Runtu menerima permintaan itu dengan syarat, kelinci akan menunggu di ceruk batu sampai Runtu kembali. Mereka saling bersepakat. Selanjutnya Runtu mengatur rencana perjalanan untuk memenuhi permintaan itu sebelum matahari terbit. 

***


Tidak ingin membuang waktu, Runtu berjalan keluar ceruk. Dia yakin bahwa kelinci bisa dipercaya. Di luar ceruk Runtu diam sejenak sambil mengatur rencananya. Ada tiga hal yang harus dia kerjakan dini hari itu pertama mencari kebun wortel, kedua mencari daging buruan untuk dirinya sendiri karena pasti dia membutuhkan energi banyak untuk perjalanan hari itu, dan ketiga memberitahu Suri, karena dia sudah pergi sehari lamanya. Runtu tidak ingin membuat sahabatnya khawatir menanti kabar darinya. 

Runtu memutar otak rencana mana dulu yang akan dikerjakan. "Ada tiga hal yang harus dikerjakan dalam waktu singkat. Aku akan mencari daging buruan dulu sambil kembali ke sarang Suri. Setelah itu aku akan berbagi tugas dengan Suri untuk mengumpulkan wortel" demikian rencana Runtu.

Sesaat kemudian, Runtu mengambil kuda-kuda dan mendorong badannya sejauh mungkin sambil mengepakkan kedua sayapnya. Hembusan angin lembah dari bawah sangat membantu Runtu untuk mengangkat badannya yang besar ke angkasa. Dengan tiga kali kepak, Runtu sudah terbang menyusuri lembah. 

Dalam perjalanan itu Runtu mengambil jalan berbeda dengan jalan dia berangkat. "Aku akan ambil arah barat saja. Ini adalah rute tercepat untuk sampai ke sarang Suri. Selain itu, aku bisa berburu kodok di mata air barat. Biasanya kodok akan banyak berkumpul berkerumun di mata air," rencana Suri dalam perjalanan itu.

Dini hari itu, langit masih temaram. Sinar bulan redup menyinari daratan di bawah Runtu. Dalam keadaan ini, indra penglihatan tidak akan membantu. "Cahaya bulan ini tidak membantu perburuanku. Aku gunakan saja telingaku untuk menjejak mangsa" kata Runtu.

Terbang dengan kecepatan tinggi membuat Runtu sudah berada di mata air barat dalam waktu singkat. Mata air itu dikelilingi pohon beringin. Ada dua pohon beringin besar. Kedua beringin tersebut seolah mengapit mata air yang keluar dari dalam tanah. Di sekitarnya ditutupi oleh rimbunan pohon bambu. Bunyi pohon bambu yang tertiup angin, seolah mengisi deru mata air yang mengalir dari ballik bebatuan. 

"Aku harus mendengarkan suara katak dengan cermat. Suara gesekan bambu dan deru mata air di bawah akan membuat pencarian suara katak memakan waktu sedikit lebih lama," pikir Runtu sambil terbang mengitari mata air. Dia memasang telinganya dengan cermat. Dia berusaha mencari tanda keberadaan kawanan katak. Tiba - tiba, "Krok.. krok.. krok," bunyi kodok terdengar samar-samar di baik deru mata air dan gesekan bambu. 

Runtu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. "Itu dia tanda yang aku cari. Aku akan terbang rendah sejajar dengan rumpun bambu agar bisa mendengar tanda tadi dengan dengan lebih jelas," rencana Runtu.

Semakin mendekat ke pucuk rimbun bambu, suara itu kembali terdengar jelas. "Krok.. krok.. krok... krok," begitu bunyinya. "Jelas ini adalah suara kodok, mangsa yang aku cari. Aku akan berburu barang lima ekor saja sudah cukup untuk energiku sehari ini." begitu rencana Runtu.

Agar mudah mengetahui letak mangsanya dengan tepat, Runtu memutuskan memantau mangsa dari dekat. "Aku akan mengintai dari dahan beringin saja. Dari situ aku bisa leluasa melihat ke balik rimbunan bambu," demikian pikir Runtu.

Kepak sayap Runtu membantunya hinggap di dahan beringin dalam kesenyapan. Dari atas beringin, Runtu bisa melihat buruannya dengan mudah. Para kodok tidak menyadari adanya ancaman di dekat mereka. Runtu diam sejenak sambil memeriksa keadaan sekeliling, seolah memberi kesempatan kepada para kodok untuk bercengkrama terakhir kalinya.

"Ini saat yang kutunggu," kata Runtu. Sambil memfokuskan pandangan dan pendengaran ke arah sasaran, Runtu mengambil ancang-ancang terbang. Sesaat kemudian, tubuh besar Runtu sudah meluncur cepat ke bawah. "Aku akan terbang menyambar dengan cepat. Aku tutup saja sayapku agar aku meluncur semakin cepat," kata Runtu dalam hati.

Nampak dari kejauhan, ada sekelebat bayangan meluncur cepat dari dahan beringin ke arah kawanan kodok. Saking cepat dan senyapnya, tidak ada yang akan menyangka seekor burung hantu sedang melakukan perburuan. Demikian pula dengan kawanan kodok. Mereka masih asyik bernyanyi saling bersahutan. Mereka tidak sedang dalam posisi waspada.

"Aku akan mengincar dua ekor kodok yang berdiri agak jauh dari kawanannya," demikian rencana Runtu. Aku mengincar kedua kodok itu agar kawanan kodok lainnya tidak merasa terancam.

Benar saja, dalam waktu singkat kedua kodok tadi sudah terangkat tinggi. Saking cepatnya serangan Runtu, tidak ada satupun kawanan kodok yang sadar bahwa dua temannya sudah hilang.

"Untung sergapanku tepat. Kedua kodok ini tepat berada dalam cengkeraman cakarku," kata Runtu dalam hati. "Aku akan kembali ke dahan beringin dan menyimpan kedua daging buruan ini," lanjut Runtu.

Kembali ke dahan beringin, di sana ada jalinan rumput kering yang cukup besar. Jalinan rumput kering itu nampak seperti bekas sarang bangau yang sudah lama ditinggalkan. Runtu memang memilih dahan tadi sebagai tempat hinggap karena ada tempat penyimpanan sementara daging buruan. "Ini adalah tempat yang aman," pikir Runtu. Kemudian Runtu melepaskan kedua kodok tadi dan menutupinya dengan beberapa helai daun kering. "Aku tutupi saja kedua daging buruan ini agar aman dari pencuri," kata Runtu.

Setelah yakin buruannya aman, Runtu kembali mengambil posisi untuk sergapan kedua. Runtu mengincar tiga kodok. "Ada tiga mangsa. Ketiganya berada di tengah kawanan. Ini bukan cara perburuan yang baik. Tapi setidaknya aku bisa langsung mendapatkan tiga daging buruan," demikian pikir Runtu. 

"Kalau usaha ini gagal, aku akan kembali mencoba di sergapan berikutnya. Tapi aku usahakan sergapan kedua ini berhasil," yakin Runtu pada dirinya.

Beberapa saat kemudian, Runtu sudah meluncur dari ketinggian menuju ke jantung kawanan kodok. Namun sayang, di sergapan kedua ini, ada seekor kodok yang menyadari kehadiran Runtu. "Krok .. krok.. krok..," suara kodok semakin bergemuruh. "Sepertinya pada kodok sudah sadar keberadaanku. Aku harus memanfaatkan keadaan kacau ini," tegas Runtu. Runtu tidak mau kehilangan buruan. Kawanan kodok lari tanpa arah. Memanfaatkan kekacauan ini, Runtu dengan mudahnya mengambil kodok gemuk pilihannya.

"Hap, aku berhasil mencengkeram satu kodok," kata Runtu dengan puas. Sedikit terbang ke kanan Runtu mendapatkan lagi satu mangsa. "Aku sudah berhasil mendapatkan dua ekor. Dan mereka belum tahu arah seranganku berikutnya," kata Runtu dengan bangga. 

"Itu dia, ada satu ekor berlari ke arah mata air", kata Runtu dalam hati. Dengan cepat Runtu membuka paruh dan menyambar kodok itu. "Aku sudah mendapatkan tiga ekor walaupun dengan sedikit kekacauan," katanya. Berbekal tiga ekor buruan, Runtu kembali lagi ke dahan tempat bekas sarang bangau berada.

"Puas sekali aku pagi ini. Aku berhasil mendapatkan lima ekor kodok. Dua gemuk dan tiga lagi sedang. Cukuplah untuk energi hari ini," kata Runtu dalam hati berpuas diri. Sambil menyantap daging buruannya, Runtu memutar otak mengatur siasat selanjutnya.

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...