Hari pertama adalah awal permulaan sebuah rentetan peristiwa. Hari pertama merupakan awalan untuk mencapai tujuan yang diimpikan.
Mengawali hari pertama kadang melibatkan emosi. Masih ingat bagaimana dulu saat hari pertama masuk TK? Hmm.. sepertinya sudah dilupakan. Atau kilas balik baginyang sudah bekerja. Bagaimana hari pertama di kantor? Bisa jadi seru, asyik atau juga ada yang canggung, bingung. Pilihannya di antara kedua kelompok emosi itu. Apakah memilih emosi yang positif atau negatif. Apapun pilihannya, hari pertama akan selalu menjadi kenangan tak terlupakan.
Selasa, 21 Desember 2021. Ini adalah hari pertama saya untuk dua momen yang patut dikenang. Momen pertama adalah saya mengikuti kelas tantangan 30 hari menulis (30 days writing challenge - #30dwc). Momen kedua adalah hari pertama ibu saya menjalani radioterapi.
Saya akan mulai berbagi kisah untuk momen pertama, yaitu mengikuti kelas menulis. Cerita ini diawali ketika mengisi waktu luang sambil berselancar di Instagram. Scroll up and down, klik caption, baca komentar. Kira-kira urutan peristiwanya seperti itu. Sampai menemukan sebuah unggahan di IG @pejuang30dwc. Wah, baca nama akunnya provokatif juga. Alhasil jari tergoda untuk klik unggahan dan membaca info lengkapnya. Di situ tertulis hubungi admin atas nama Aya. Singkat cerita kak Aya membalas chat WA saya dan mengirimkan beberapa form isian pendaftaran dan rekening transfer pelatihan.
Faktor kedua yang membujuk saya mengambil kelas menulis ini adalah biayanya yang ramah kantong. Cukup dengan Rp 99.000 saja untuk mengikuti pelatihan menulis. Kalau dibandingkan dengan kuota internet, kurang lebih setara dengan kuota internet 2 bulan. Saya pikir okelah, masih terjangkau.
Faktor penentu keputusan ketiga adalah adanya frasa challenge. Wah ini sepertinya menarik untuk diikuti nih. Kegiatan-kegiatan yang menantang seperti ini layak untuk ditelusuri lebih lanjut.
Fix, atas dasar tiga pertimbangan tadi saya positif daftar dan menjadi pejuang kemerdekaan menulis. Saya dengan sadar telah menceburkan diri ke medan pertempuran kata dan bahasa.
Berbicara tentang latihan menulis, keikutsertaan saya di #30dwc ini bukan yang pertama kali. Sebelumnya saya pernah mengikuti kegiatan serupa. Lagi-lagi terbenam dengan rutinitas pekerjaan, kebiasaan tersebut makin pudar. Menurut saya pribadi, kegiatan-kegiatan seperti ini layak diambil untuk terus memaksa diri menulis.
Saya teringat masa lalu ketika melontarkan pertanyaan kepada Wandi, seorang kawan yang mantan wartawan. "Wan, giman sih caranya bisa nulis?" . Dengan entengnya dia menjawab "Ya udah lu nulis aja" sembari mengisap rokok dalam-dalam. Jawaban singkat itu selalu terngiang dan kadang memberi inspirasi untuk menulis.
Kurang lebih postingan di IG @prjuanh30dwc yang saya baca 3 hari yang lalu membangkitkan lagi memori tersebut. Kalau mau menulis, ya mulailah menulis. Ini seolah paksaan secara halus. Akhirnya lahirlah tulisan ini. Sebenarnya ini bukan unggah pertama. Tulisan pertama dalam rangka tantangan 30dwc bisa dibaca di unggahan sebelumnya. Semoga bisa kuat menerima tantangan dan konsisten menulis apapun itu sampai hari ketiga puluh nanti.
*****
Bagian ini akan menjadi tempat berbagi kisah kedua, yaitu hari pertama ibu menjalani radioterapi.
Ibu saya adalah pensiunan perawat berusia 63 tahun. Ibu Sri namanya. Asli Yogyakarta dan menetap di Semarang hingga pensiun. Memasuki masa tua, sebagai anak tentu doa kita orang tua selalu sehat dan bahagia. Namun sepertinya masa pensiun untuk ibu berbeda dari bayangan saya.
Dulu beliau sangat aktif. Hampir dibilang ibu tidak pernah sakit. Walaupun bekerja sebagai perawat di IGD RS Dr. Kariadi, sepanjang ingatan saya, ibu belum pernah opname. Tahu sendiri ritme kerja IGD yang penuh tekanan dan riweuh 24 jam. Bila lelah dan kemudian pusing, batuk dan flu saya pikir itu bukan penyakit, karena itu dianggap lumrah e wong urip.
Memasuki masa pensiun nampak kesehatan ibu semakin menurun. Walaupun memang tidak diekspresikan. Namun lambat laun kelelaham fisik itu mulai nampak.
Penyakit yang dialami ibu terbilang serius. Beberapa tahun yang lalu ibu menjalani kemoterapi karena ditemukan adanya benjolan di perut. Masa kemoterapi dijalanin dengan ikhlas. Ibu sadar bahwa ini kesempatan yang diberikan Tuhan agar mengurangi kesibukan. Tapi tetap saja yang namanya ibu seolah selalu nampak sehat dan kuat. Dua tahun yang lalu kemoterapi selesai. Hasilnya sungguh luar biasa. Benjolan yang dikeluhkan hilang. Hasil laboratorium menunjukkan hasil yang baik.
Dua tahun berselang, ibu kembali dengan kesibukannya. Entah sibuk mengurus bapak yang juga kesehatannya menurun, urusan rumah tangga, urusan sosial dan kegiatan di gereja. Tenggelam dalam kesibukan di masa pensiun seperti membangkitkan kembali semangat juangnya. Bisa dimaklumi karena hanya dengan kegiatan-kegiatan tersebut ibu bisa bersosialisasi, bertemu teman dan bahagia.
Kejadian itu bermula pada awal Desember 2021. Saya mendapat kabar kalau ibu selama seminggu selalu mual, muntah dan pusing berkepanjangan. Tipikal ibu, sakit seperti itu tidak dihiraukan. Ibu pikir dengan istirahat saja bisa sembuh. Sampai pada batasnya, ibu merasa kewalahan dan minta dibawa ke IGD RS Ken Saras Bawen. Ketika itu, saya tidak menemani ibu, karena saya tinggal di Yogyakarta. Saat itu, ibu diantar bapak dan Dewi, adik perempuan saya.
Setelah ditangani beberapa saat di IGD, ibu disarankan untuk opname sambil diobservasi. Kebetulan RS Ken Saras adalah tempat ibu mendapatkan kemoterapi beberapa tahun yang lalu, sehingga rekam medisnya tersimpan baik di situ. Atas dasar kedua faktor tersebut ibu mantap untuk opname.
Singkat cerita, selama opname, dokter melakukan serangkaian pemeriksaan terkait riwayat penyakit lamanya. Hasil pemeriksaan tersebut mengarah kepada benjolan yang ada di otak kecil. Dokter menyarankan perlu adanya tindakan untuk menghilangkan benjolan tersebut. Berhubung benjolan ini berada di otak kecil dan sangat berisiko untuk diambil, maka disarankan mengikuti program radioterapi.
Mengetahui kondisi ibu seperti itu membuat perasaan was-was. Syukur pada saat persiapan radioterapi kegiatan di kampus sudah berkurang, karena berada di akhir semester. Saya membahas hal ini dengan istri, lalu merencanakan untuk pulang sebentar menemani proses radioterapi.
Senin, 20 Desember 2021saya tiba di rumah ibu. Ibu menyempatkan diri menyambut di ruang tamu walaupun dengan kondisi yang kepayahan. Saat itu saya pikir, wah ibu sudah sehat nih.
Ketika saya meletakkan barang bawaan, saya melihat ibu jalan perlahan ke dapur mengambil dua gelas. Memang tipikal ibu seperti ini. Berusaha melayani orang lain, walaupun kadang tidak memikirkan kondisinya. "Ibu, sudah nanti saya saja. Letakkan sajangelas itu. Ibu istirahat" kataku ke ibu.
"Ya nang. Ibu sedikit gliyeng dan mual. Aku tiduran dulu. Nanti gelas ini diisi kacang hijau untuk kita berdua ya" pesan ibu sambil saya papah menuju kamar.
Setelah istirahat sejenak, ibu mengajakku minum kacang hijau rebusan Dewi. Nampak ibu berusaha memasukkan suapan kacang hijau ke mulut dengan perjuangan menahan agar tidak muntah. Apa daya selang beberapa saat, dorongan untuk muntah tak terbendung. Ibu muntah cukup banyak di kamar mandi.
Hari itu adalah hari kontrol ibu untuk persiapan program radioterapi selama 20 hari. Setelah ibu merasa baik, saya mengantar ibu ke RS Ken Saras. Selama perjalanan itu saya melihat bagaimana tersiksanya ibu. Duduk tak nyaman, perut sudah kosong tapi dorongan untuk muntah selalu datang bertubi-tubi. Sampai terlihat ibu menangis karena menahan rasa yang luar biasa itu.
Selasa, 21 Desember 2021. Ini adalah hari pertama ibu menjalani radioterapi. Saya mengantar ibu ditemani bapak dan Dewi. Program penyinaran ini dijadwalkan setiap Senin sampai Jumat jam 11.00 WIB. Proses penyinaran tergolong cepat, sekitar 5-10 menit.
Usai penyinaran pertama ini, saya melihat efek mual makin hebat. Bila hari-hari sebelumnya ibu bisa menahan mual dengan obat tablet, hari ini rasanya sangat sulit sekali. Saya kasihan melihat kondisi ibu, tapi apa daya yang bisa saya lakukan selain berdoa memohon kesembuhan dari Tuhan Sang Pencipta.
Hampir putus asa, ibu sempat melontarkan keinginan untuk diantar ke IGD Ken Saras. Kondisinya nampak payah dengan dorongan mual dan otot-otot tubuh yang lemas. Tidak lama, ibu mencoba menghubungi temannya sesama perawat. Syukur Puji Tuhan, malam tadi bantuan itu datang. Teman ibu datang membawa infus dan peralatan medis lainnya. Yang saya tahu setelah mendapat infus, rasa mual sudah berkurang, ibu bisa makan dan minum obat.
Ini adalah emosi haru biru mendampingi ibu radioterapi hari pertama. Doa saya, semoga pada radioterapi kedua sampai yang kedua puluh nanti, ibu bisa kuat menjalani. Saya hanya bisa berdoa "Gusti paringana kuat lan sabar". Hanya doa dan semangat yang bisa aku berikan ibu. Semoga lekas sembuh ya. We love you!
*****
Comments