Skip to main content

Sekolah Era New Normal

The Wall Street Journal - WSJ (18/5/2020) mengangkat sebuah artikel tentang rencana pembukaan sekolah di New York pada minggu pertama bulan September mendatang. Beberapa guru menilai bahwa kebijakan untuk membuka sekolah perlu menunggu kata aman dari ahli kesehatan masyarakat. Selain itu, para guru juga mengajukan 5 tuntutan kepada para pengambil kebijakan.

Lima butir tuntutan tersebut antara lain (1) perluas pengujian sample, (2) ukur suhu tubuh dengan termometer, (3) bersihkan peralatan dan penggunaan alat pengaman diri, (4) terapkan social distancing, (5) siapkan sistem pelacakan dan isolasi untuk bila ada kasus kontak dekat dengan warga sekolah (guru, karyawan, siswa) yang positif #peviko19.

Seandainya kelima butir tuntutan tersebut terpenuhi, tidaklah menjamin keselamatan warga sekolah. Membuka kembali persekolahan dalam situasi "the new normal" memang membutuhkan analisa mendalam, khususnya bagi pengelola sekolah. Pengelola sekolah harus bersiap menggunakan berbagai skenario ketika "sekolah dengan normal baru" dijalankan. Skenario ini dilaksanakan dengan asumsi bahwa proses pembelajaran di sekolah masih dilakukan secara tradisional dan blended school.

Pelaksanaan "sekolah dengan normal baru" tentu akan mempengaruhi pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Sebagai contoh ketika aturan social distancing diterapkan secara ketat hingga ruang kelas, tentu jumlah orang dalam sebuah kelas seharusnya tidak lebih dari 50%. Ketika kapasitas tampung kelas berkurang, bagaimana efektifitas pelaksanaan belajar mengajar pada sekolah berjumlah murid banyak? Atau sekolah yang harus berbagi gedung dengan sekolah lain?

Disiplin dalam social distancing dan penggunaan masker sampai saat ini merupakan cara pencegahan penularan virus yang manjur. Memprogram alam bawah sadar siswa untuk tetap higienis dan patuh pada social distancing memerlukan pendekatan psikologi.

Membangun kesadaran hidup sehat di lingkungan sekolah memerlukan energi besar. Khususnya untuk jenjang pendidikan PAUD, TK, SD dan SMP. Pada jenjang pendidikan tersebut, adalah masa siswa melakukan eksplorasi dunia sekitarnya. Sebagai contoh ketika jam istirahat atau jam pulang sekolah berbunyi, bagaimana memastikan siswa menjaga social distancing? Lalu bagaimana dengan perilaku jajan siswa di kantin? Bagaimana memastikan lingkungan sekolah selalu higienis? Mengingat reflek siswa yang tanpa sadar menyentuh benda - benda yang ada di sekitarnya?

Mengubah sikap siswa pada masa eksplorasi ini perlu dilakukan pada tataran psikologi. Pendekatan secara psikologi ini diharapkan dapat mempercepat proses adaptasi siswa pada perilaku baru di era normal baru.

Berkaca dari artikel WSJ ini setidaknya kita mendapat gambaran bahwa kebijakan membuka sekolah di masa pandemi memerlukan pertimbangan matang. Risiko pasti ada, tapi perlu mencari cara mengendalikan risiko tersebut. Para pengambil keputusan ketika merumuskan kebijakan dan memutuskannya, harus berdasar pada kajian ilmiah dan pertimbangan para epidemiolog.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah menumbuhkan kesadaran pada setiap orang. Saat ini kita berada di era baru di mana kondisi normal lama sudah tidak berlaku lagi. Maka, kita perlu beradaptasi dengan virus korona yang ada di sekitar kita. Kita perlu menerapkan tatanan interaksi sosial baru untuk keselamatan bersama. Welcome to the new normal era.


Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda

Impact of Agrarian Change in Indonesia

Indonesia is a country that is facing a number of challenges related to food security and social protection, particularly in the context of agrarian change. On one hand, the country has seen an increase in agricultural productivity and exports, which has contributed to economic growth and development. On the other hand, this agrarian change has also led to a number of paradoxes, including a decline in food security and social protection for many of the country's most vulnerable citizens. One of the main drivers of agrarian change in Indonesia is the expansion of commercial agriculture, particularly in the form of large-scale oil palm and pulpwood plantations. This expansion has brought significant economic benefits to the country, including increased exports, foreign investment, and job creation. However, it has also led to the displacement of smallholder farmers, the destruction of natural habitats, and the loss of traditional livelihoods. This has had a negative impact on food se

4 Pelajaran Terbaik yang Saya Dapatkan di 30DWC Jilid 34

Rabu, 19 Januari 2022 adalah akhir dari tantangan 30 hari menulis tanpa henti. Kami menyebutnya 30DWC (30 Days Writing Challenge ). Kegiatan yang saya ikuti ini sudah sampai pada jilid ke 34. Program 30DWC ini dirancang untuk melatih kebiasaan menulis bagi mereka yang mau membiasakan diri menulis.  Saya mengikuti 30DWC ini karena memang ingin menantang diri saya sendiri. Apakah saya bisa menulis setiap hari tanpa henti? Ya, ternyata saya bisa. Selama sembilan hari saya sangat bersemangat. Setiap hari saya mengunggah tulisan di blog pribadi. Tercatat ada 2 tulisan non fiksi dan tujuh tulisan fiksi berupa cerpen bersambung. Namun, konsistensi menulis itu hanya bertahan sampai hari kesembilan. Memasuki hari kesepuluh, saya sudah tidak sanggup. Kemudian mundur secara konsisten dan menghilang ditelan kesibukan.  Enam hari menjelang berakhirnya 30DWC, semangat menulis kembali muncul karena dorongan dari teman-teman. Saya lalu menyemangati diri sendiri, bahwa saya bisa menuntaskan perjalanan