Skip to main content

Sempurna Dalam Ketidak Sempurnaan

Part 1

Sore itu di ruang tamu rumahku, “Haah…., sudah cukup hubungan kita !” Teriakku dengan parau dan amarah yang memuncak di ubun-ubun, memecah keheningan pagi itu. Karena sudah tidak dapat aku pendam lagi, akhirnya kata-kata yang selama ini aku pantangkan, terlontar juga, “Mulai saat ini kita cerai, muak gua lihat muka loe! Mau mati kek, mau minggat kek, emang gua pikirin ?”

Duduk di hadapanku sesosok perempuan dengan mata sembab dan wajah yang basah oleh air mata. Ya, dia adalah istriku. Seorang perempuan yang sudah mendampingiku selama 5 tahun ini. Dengan terisak, dia mengatakan “Baik, aku juga sudah muak dengan semua ini !” Dengan terbata-bata, dia melanjutkan luapan emosinya, “Aku, aku sudah salah memilih kamu sebagai suamiku…hu..uu….” balasnya sambil menatap penuh kemarahan ke arahku.
Mendapat tantangan seperti ini, naluri jantan dominanku mulai bereaksi “Ok, siapa takut !” tungkasku. “Mulai saat ini ambil semua bajumu dan pergi dari rumah ini! Gua ga sudi lihat muka loe di sini, cih !” balasku dengan mata melotot dan telunjuk teracung menuduh sebagai tanda pengusiran. Penuh emosi, tanpa pikir panjang, itulah gambaran suasana hatiku yang tidak karuan saat itu.

Dengan diselimuti suasana tegang dan hati yang kalut, aku tinggalkan istriku yang masih menangis sejadinya di ruang tamu. Aku bergegas meninggalkan ruangan sialan itu menuju taman. Saat itu yang terpikir olehku adalah mencari tempat yang menawarkan kesejukan. Taman adalah tujuanku, di sana aku bisa melampiaskan segudang emosi sepuasku. Taman itu berada di belakang rumahku. Merupakan tempat refreshing saat aku menghadapi masalah berat.

Di pojok taman itu, ada sebuah bangku santai yang menghadap ke sebuah kolam ikan. Suara gemericik yang tercipta menghadirkan melodi merdu alam. Dengan riak air dari sekelompok ikan Koi yang menggambarkan kesempurnaan tari lembut semesta. Semua itu terkemas menjadi satu, sebuah miniatur kesempurnaan alam. Ini adalah surga kecilku.

Dalam ketenangan itu, aku duduk termangu tidak tahu apa yang hendak aku lakukan. Tanpa tujuan, kutatap air terjun kolam yang terus mengalir. Air kolam, tersedot ke dalam mesin, meninggalkan sebuah pusaran halus di permukaan. Kemudian mengalir melalui pipa penyaring dan akhirnya muncul di puncak kolam, bersiap menerjunkan dirinya kembali ke bawah, menimbulkan suara gemericik. Pola yang sama terus berulang tanpa putus. Pola yang sama terus berjalan setiap waktu tanpa henti.

Entah mengapa, aku merasakan keheningan sesaat dan segala sesuatu nampak buram. Tubuh ini serasa ringan, sehingga mampu melayang menembus segalanya. Dalam kekosongan itu, aku serasa tercabut dari masaku, menuju suatu waktu yang aku tidak tahu. Samar-samar aku berada di sebuah ruang tanpa dinding berlantaikan rumput segar yang menghijau, beratapkan langit biru yang menawan. Sebuah tempat yang luar biasa. Aku berada di sebuah taman yang sangat indah. Sebuah taman yang sesuai seleraku. “Wow, I can’t believe this, it’s so marvelous !” gumamku. Ternyata aku berpindah dari taman mini ke sebuah taman maha luas.

Samar-samar aku mendengar alunan lagu yang dimainkan oleh mini orchestra mengalun lembut memecah kesunyiaan saat itu. Karena penasaran, maka aku bergegas mencari sumber bunyi akustik itu. Di kejauhan nampak olehku, sekelompok orang dengan suasana khidmat sedang berkumpul dan di hadapan mereka terlihat sepasang kekasih berdiri menghadap sebuah meja kecil dengan hiasan bunga dan lilin di atasnya. Sepasang kekasih itu berhiaskan pakaian serba putih, dari atas hingga bawah, mereka berdua nampak menawan.

Part 2

Warna putih ini melambangkan kebulatan tekad dan kesucian dalam memasuki kehidupan baru. Segera aku mengenali bahwa ini adalah sebuah upacara pernikahan. Tanyaku dalam hati, “Apa yang sesungguhnya terjadi ? Mengapa aku ada di upacara pernikahan orang ? Pernikahan siapa ini ?”
Untuk mengobati rasa penasaran ini, aku melangkahkan kaki menuju upacara pernikahan tersebut. Tanpa rasa curiga, aku terus melangkah mendekati sebuah kursi kosong yang masih tersisa di baris belakang. Setelah aku duduk, aku mulai merasakan suatu keganjilan, timbul pertanyaan dalam benakku, mengapa orang di sebelahku tidak menyadari kehadiranku.

Dengan keganjilan ini, aku mulai bertanya pada diriku sendiri, “Apa yang sedang ku alami? Apakah aku tidak sadarkan diri lalu terjatuh ke kolam sampai aku sekarat dan akan mati? Inikah yang disebut sakratul maut, saat orang akan meninggal dan mulai mereview semua peristiwa yang dialaminya? Atau aku bermimpi atau aku gila?” berulang kali kugosok-gosok mata, kucubit tanganku dan kutampar pipiku, namun aneh, semua kejadian itu seolah enggan beranjak dari hadapanku.

Saat itu semua orang yang hadir sedang terpusat pada upacara pemberkatan nikah pasangan kekasih. Aku mulai penasaran, sebenarnya aku sekarang berada dimana dan sedang apa. Karena tidak ada yang meyadari keberadaanku, aku beranjak dari kursiku menuju ke dekat mimbar agar dapat dengan jelas mengikuti upacara sakral itu. aku memutuskan untuk melihat dari samping mimbar sehingga dapat melihat wajah pasangan yang sedang berbahagia itu.

Sekilas aku menatap sepasang kekasih itu. Melihat apa yang terjadi di depanku, aku menjerit tertahan, seolah tidak percaya. Perempuan yang nampak anggun dengan gaun putih dan menyandang rangkaian bunga itu adalah istriku, ya memang betul itu adalah dia, mataku tentu tidak menipu. Lekuk tubuhnya, gerak-geriknya, tatap matanya, senyum manisnya, semua itu khas istriku. Dan lelaki yang mendampinginya dengan perawakan tinggi sedang, rambut ikal bergelombang, senyum simpul tersungging di pipi, aku tidak percaya dengan yang kulihat. Mengapa aku bisa berada di sini ? Peristiwa itu adalah upacara pernikahanku 5 tahun lalu. Apa yang sebenarnya terjadi padaku ?

Dengan khidmat, Pendeta mengucapkan beberapa kalimat yang harus kami tirukan. Intinya adalah aku bersedia menjadi suami dari istriku dan aku berjanji untuk tetap setia dengannya dalam suka maupun duka, kaya maupun miskin, sakit maupun sehat sampai maut memisahkan kami berdua. Kalimat yang mudah diucapkan namun sukar untuk diterapkan.
Setelah kami saling mengikrarkan janji di depan altar suci, ku kenakan cincin di jari manis istriku. Sebuah cincin sederhana perlambang kekekalan janji kami yang sampai saat ini masih melekat erat di jari manisku. Kemudian kutatap matanya dan aku mensyukuri anugerah terindah yang telah diberikan Tuhan padaku, seorang pendamping hidup. Tulang rusuk yang telah hilang dan kini telah kutemukan dan melekat erat di sisiku. Dieratkan oleh perjanjian pernikahan yang kekal. Sebuah perjanjian yang tidak akan kadaluarsa, bahkan sampai ajal menjemput, kebersamaan nasib sampai akhir hayat (consortium totius vitae).

Ya, aku telah hadir dan melihat kembali secara langsung upacara sakral itu. Upacara yang mengikatkan dua jiwa yang berbeda menjadi satu tubuh. Betul, itu adalah upacara pernikahanku. Dengan gamblang aku bisa menyaksikan urutan peristiwa itu satu persatu. Semua nampak jelas dan aku dapat merasakan kehadiran teman serta kerabat dekatku dengan nyata. Aku bukan hadir sebagai penonton, tapi hadir sebagai saksi upacara pernikahanku sendiri.

Part 3

Sebagai saksi langsung pada peristiwa itu, tubuh dan jiwaku serasa bergetar. Pikiranku melayang kembali pada saat aku masih jomblo, masa ketika kami masih pacaran, upacara pernikahanku, tahun-tahun awal keluargaku, sampai kejadian terakhir di ruang tamu itu. Semua berulang dengan cepat namun jelas. Setiap masa-masa penuh kenangan itu, segala sesuatu berjalan perlahan. Aku kembali bertanya pada diriku, Inikah semua wujud janjimu di hadapan tahta Tuhan Sang Pencipta? Hanya sebatas inikah kemampuanku mempertanggung jawabkan janji sakral itu ?
Setelah semua berlalu, aku merasakan kesejukan yang luar biasa.
Pandanganku kabur, suasana kembali senyap. Kemudian samar-samar nampak di depanku ruangan yang tidak asing lagi. Ini adalah kamarku. Muncul lagi pertanyaan dalam kepalaku, “Bagaimana bisa aku ada di kamar, bukannya tadi aku sedang duduk di taman?”

Aku merasakan memar di kepalaku. Kepala ini terasa sangat berat, ternyata kepalaku pusing sekali mungkin tadi terjatuh dan terantuk batu di tepi kolam. Pandangan serasa bergelombang, namun aku masih bisa mengenali sosok perempuan yang duduk di tepi tempat tidurku. Seorang perempuan yang aku lihat dalam pengembaraan masa laluku, seorang perempuan yang sempat aku benci, seorang perempuan yang selama ini setia mendampingiku. Ya, itu adalah istriku.

“Pak bagaimana sekarang, sudah baikan?” suara lembut dan hangat itu menegurku. Tubuh dan jiwaku kembali bergetar, semua perasaan campur aduk jadi satu. Perasaan keki, dongkol, jengkel, sombong, angkuh, dengki, jijik terharu, sedih, bahagia, heran, ya, semua, semua itu melebur jadi satu dalam kehangatan yang belum pernah aku rasakan sejak 5 tahun lalu.

Dengan tersenyum simpul namun lebih tepatnya menyeringai karena menahan sakit, aku menjawab “Maafkan aku bu, karena sudah menyakitimu.” Tidak terasa segalanya terlihat berkaca-kaca dan ada yang membasahi pipiku. Aku menangis, ya aku bisa menangis. Semua perasaan itu tidak dapat dikatakan hanya bisa diungkapkan dengan tangisan. Air mata itu seolah menggelontarkan semua gejolak emosi yang terpendam dan mengubahnya menjadi kedamaian.

Istriku menjawabnya, “Pak, aku sudah memaafkanmu tidak usah diungkit lagi, karena ini pelajaran untuk keluarga kita.” Aku menatapnya dalam, seolah tidak ingin kehilangan dia. Kulihat air mata mulai keluar dari pelulupuk matanya yang menawan. “Pak, ini adalah air mata bahagia bukan air mata kesedihan, karena aku telah menemukan kembali suamiku yang aku pilih sebagai pendamping hidupku sampai maut menjemputku” katanya sambil menatapku hangat seolah memiliki rasa yang sama denganku.

Perlahan ku dekatkan wajahku padanya, dengan lembut ku kecup keningya lalu ku peluk istriku tercinta. Dia adalah anugerah terindah dari Penciptaku. Dalam pelukan itu kami menangis bersama meluapkan semua perasaan kami. Ku bisikkan dengan lembut ke telinga istriku, “Tuhan terimakasih, Engkau telah memberikan perempuan yang terbaik untuk mendampingiku.“ „Sayangku, terimakasih kau bersedia menjadi istriku.”

Kejadian itu kembali menyadarkan padaku untuk bisa menerima keberadaan istriku apa adanya baik suka maupun duka, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit. Aku diingatkan kembali pada upacara sakral penyatuan dua jiwa dalam ikatan pernikahan. Apa yang sudah disatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan oleh manusia.

Part 4

“Silahkan kenakan sabuk pengaman anda. Sesaat lagi kita akan mendarat di bandara Adisucipto” demikian pesan singkat seorang pramugari yang memecah keheningan kabin Garuda rute Menado Jogjakarta. Rupanya aku telah tertidur pulas dalam perjalanan pulang ini. Setengah sadar aku segera meraih sabuk pengaman dan mengenakannya ke badan. Aku arahkan pandang ke luar semua nampak putih diselimuti awan. Kemudian perlahan nampak sawah yang menguning di sela-sela bangunan padat perumahan . Itulah kota kelahiranku, Jogjakarta.

Dalam kabin itu, aku mulai sadar bahwa peristiwa tadi hanyalah mimpi. “Jangankan cerai, punya pacar saja belum” demikian kataku dalam hati sambil tersenyum sendiri membayangkan mimpi tadi. Anyway, mimpi itu memantapkan tekadku untuk menyatakan perasaanku pada seseorang entah kapan saatnya.

Taksi yang kutumpangi dengan mantap telah menyertakan diri dalam arus padat kota sore itu. Aku harus bergegas ke rumah untuk menyiapkan bahan rapat esok pagi dengan staff direksi. Sayup-sayup, dari stereo set taxi terdengar lantunan lagu yang tidak asing bagiku.

kau begitu sempurna
di mataku kau begitu indah
kau membuat diriku
akan slalu memujamu

di setiap langkahku
ku kan slalu memikirkan dirimu
tak bisa kubayangkan
hidupku tanpa cintamu

janganlah kau tinggalkan diriku
takkan mampu menghadapi semua
hanya bersamamu
ku akan bisa

reff :
kau adalah darahku
kau adalah jantungku
kau adalah hidupku
lengkapi diriku
oh sayangku kau begitu…
sempurna

kau genggam tanganku
saat diriku lemah dan terjatuh
kau bisikkan kata
yang hapus semua sesakku


Walaupun dia terkadang menjengkelkan dan sering mengecewakanku, kalau memang benar dia adalah bagian hidupku, why not ? Tuhan tidak memberikan aku seorang yang sempurna, tapi Dia memberiku seorang yang tidak sempurna. Karena dalam ketidaksempurnaan itu, kami dapat saling melengkapi. Dan kesempurnaan itu ada jika dua hal yang tidak sempurna menjadi satu.

Dedicated to someone yang menjengkelkan dan menyebalkan.
Miss you so much… :)

NB: postingan ini diambil dari postingan blog friendster 18 Juni 2007 (http://hendra-aquan.blog.friendster.com/2007/06/)

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...