Skip to main content

Gaya Hidup Jadi Petaka

Selama manusia hidup, secara alami kita akan memproduksi sampah yang berasal dari inner body. Sampah ini berwujud keringat, faeses, urine dan sisa pernafasan. Itu merupakan hasil akhir produk metabolisme tubuh manusia. Pengertian sampah adalah barang sisa yang tidak terpakai lagi. Jakarta saja dalam sehari menghasilkan sekitar 27.000 meter kubik sampah dan diperkirakan sekitar 100 meter kubik sampah mengalir setiap hari ke Teluk Jakarta. Tidak itu saja, di bantaran Ciliwung antara Tanjung Barat sampai Kalibata ada 32 titik pembuangan sampah ilegal dengan volume tampung sekitar 5.000 meter kubik. Wow.. jumlah yang fantastis. Lalu apa saja yang akan terjadi jika kita masih tidak peduli pada sampah? Ada tidak cara praktis untuk ikut mengurangi faktor kerusakan yang disebabkan sampah?

Malapetaka Sampah
Masalah yang saat ini kita hadapi adalah sampah yang berasal dari outer body. Sampah ini telah menimbulkan gangguan yang kadang kita tidak rasakan, namun itu terjadi. Secara lokal kita kerap mendengar berita tentang banjir banjir yang diakibatkan oleh sampah. Pada tingkatan global, ada kata yang sering kita dengar, yaitu Global Warming. Mau atau tidak itulah fakta yang saat ini kita hadapi. Permasalahan lingkungan yang disebabkan karena sampah ini, sebagian besar adalah faktor gaya hidup. Ya gaya hidup merupakan faktor utamanya. Dahulu ketika kita nenek moyang kita hidup, sampah yang dihasilkan kebanyakan adalah sampah organik. Maksudnya sampah yang mudah diurai oleh alam. Makanya tidak heran, jika sampah tersebut langsung dibuang ke lingkungan, tidak akan menimbulkan pengaruh yang berarti, karena bahan organik akan lapuk terurai.

Namun, di era modern ini, barang yang dihasilkan oleh manusia semakin kompleks. Barang yang kebanyakan merupakan bahan anorganik, yaitu barang yang tidak mudah terurai sangat mendominasi. Coba perhatikan, saat ini tidak ada barang yang tidak terbuat dari plastik. Semakin maju ilmu pengetahuan, jenis bahan kimia yang direkayasa untuk pemenuhan kebutuhan manusiapun semakin aneh. Maka tidak heran, jika sekarang banyak terjadi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh senyawa kimia.
Kasus kerusakan DNA yang mengakibatkan kelahiran cacat dan merebaknya berbagai kasus kanker. Ini semua merupakan beberapa akibat yang harus kita tanggung karena pengelolaan sampah yang kita terapkan masih tradisional.

Seharusnya dengan semakin banyaknya varian sampah, cara pengelolaannya juga harus disesuaikan. Contoh yang paling mudah, baterai termasuk dalam golongan sampah berbahaya karena kandungan mercurynya. Tapi kita masih menganggapnya barang remeh karena bentuknya yang kecil dan kerap kita pakai. Dan masih banyak yang membuang sampah baterai di tempat sampah biasa dan bahkan ada yang membakar atau menimbunnya. Efeknya mungkin belum bisa kita rasakan sekarang, tapi mungkin 10 tahun lagi dan kita tidak menyadarinya.

Sampah bekas kemasan plastikpun, sudah seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Plastik yang selalu kita gunakan, jika tidak dikelola dengan benar akan menyumbang kerusakan lingkungan yang lebih parah juga. Praktek pembakaran sampah, melepasakan banyak senyawa kimia berbahaya ke udara, seperti dioxin. Jika zat ini sampai terhirup, dapat menjadi pemicu munculnya kanker.

Usaha penyadaran publik tentang parahnya masalah sampah ini sudah dilakukan dalam banyak hal. Baik dalam tingkatan lokal maupun global. Dalam bentuk leaflet sampai layar lebar. Sudah pernah nonton Wall- E? Itu merupakan salah satu cara penyadaran publik untuk permasalahan sampah dunia yang sudah semakin akut ini. Jika kita tidak peduli sampah mulai saat ini, apa yang diceritakan di Wall-E pasti akan terjadi.

Mencegah Malapetaka
Untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungan yang lebih parah, kini banyak solusi yang ditawarkan. Konsep yang ditawarkan dan cukup praktis untuk dilakukan, yaitu :

1. Kurangi Sampah
Lihat kembali barang yang sering kita pakai atau konsumsi. Misal, pemakaian tas plastik saat berbelanja. Lihat kembali, apakah kita benar-benar membutuhkannya saat berbelanja? Jika kita bisa membawa tas kain, alangkah lebih baik dari pada membawa pulang kantong plastik. Seandainya setiap orang Jakarta mau peduli, tentunya jumlah sampah Jakarta yang dihasilkan setiap hari pasti akan berkurang dan tidak harus pusing-pusing mengantar sampah ke Bantar Gebang.

2. Pisahkan Sampah
Pemisahan sampah merupakan cara untuk mengurangi jumlah sampah yang akan dibuang ke tempas sampah akhir. Dengan memisahkan sampah, banyak sampah yang masih bisa dimanfaatkan.Setidaknya memperpanjang usia pakainya sebelum menjadi sampah.

Ada banyak cara pemisahan sampah yang saat ini dilakukan. Ada yang mengelompokkan berdasarkan wujudnya, padat, cair dan gas. Berdasarkan bahayanya. Ada juga yang mengelompokkan berdasarkan kemampuan urai dan pengolahannya.
Banyak sistem yang digunakan. Yang lumrah kita kenal adalah pengelompokkan sampah berdasarkan jenisnya, seperti plastik, kertas, logam, organik, barang berbahaya dan sampah lainnya yang tidak masuk dalam kategori tersebut.

Pemanfaatan sampah yang sudah terpisah inipun akan lebih mudah. Misal sampah kertas masih bisa dijual ke lapak, sampah logam masih ada yang nampung, sampah plastik masih diterima pemulung. Nah, ada juga sampah plastik yang tidak diterima pemulung, seperti sachet minuman, bungkus mi instant, kemasan refill. Kini banyak cara kreatif yang dilakukan untuk memanfaatkannya, yaitu dengan membuat kreasi platik seperti yang dilakukan oleh Seven Moms, kelompok kreasi plastik yang dimotori oleh ibu rumah tangga yang bermukim di kawasan padat penduduk di Kapuk Muara. Selain menyelamatkan lingkungan, kreasi kemasan plastik ini juga memberikan hasil sampingan bagi ibu rumah tangga ini.

3. Ubah Gaya Hidup
Kerusakan yang terjadi saat ini, lebih banyak disebabkan oleh gaya hidup kita yang tidak ramah lingkungan. Jalan keluarnya adalah dengan mengubah gaya hidup kita. Mencari berbagai informasi tentang gaya hidup ramah lingkungan merupakan awal yang baik.

Langkah selanjutnya adalah mulai menerapkan informasi yang telah kita dapatkan. Misal, banyak orang sudah mengetahui bahwa kemasan styrofoam itu berbahaya, namun hingga saat ini jumlah pemakaian styrofoam sebagai kemasan makanan seolah dipandang sebelah mata.

Alangkah lebih bijaksana jika informasi bahaya styrofoam ini kita tindak lanjuti dengan mengurangi atau bahkan tidak memakai sama sekali.Kelangsungan alam dan segala ciptaan yang ada di bumi ini berada di tangan manusia. Jika kita mau peduli, niscaya keselamatan semua mahluk akan terjaga. Sekaranglah saatnya kita peduli pada sampah. Jika tidak, manusia sudah menyiapkan liang kubur bagi ras dan ciptaan lainnya. Mari kita berbuat sesuatu.

Comments

yovan said…
Setujuuuu!

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...