Skip to main content

Angels and Demons : Sisi Pandangku

Wew.. siapa yang tidak kenal Dan Brown? Dengan novel international best sellernya? Da Vinci Code yang sempat mengundang perdebatan sengit? Salah satu karyanya kembali dilayar lebarkan dan cukup mengundang kekaguman penonton.

Film dengan judul Angels and Demons ini mengangkat judul yang sama dari novel Dan Brown. Masih dengan tokoh yang sama, ahli simbol Robert Langdon dan polemik di balik agama Gereja Roma Katholik dan kelompok Illuminati.

Secara ringkas, film itu berkisah tentang pertentangan antara ilmu pengetahuan dan iman Kristen. Brown mengisahkan, pertentangan itu dimulai saat gereja memegang penuh otoritas masyarakat, bahkan sampai mengatur apa yang baik dan buruk dan yang tidak boleh dikonsumsi oleh masyarakat.

Otoritarisme gereja ini menyebabkan banyaknya para ahli ilmu pengetahuan seperti dikungkung dalam tempurung. Salah satunya adalah Galileo Galilei yang menjadi tokoh kunci petunjuk teka teki aksi teror yang dilakukan oleh Illuminati.

Galileo divonis menghujat Otoritas gereja Katholik Roma, karena mengemukakan teori yang bertentangan dengan keyakinan gereja. Galileo berpendapat bahwa alam semesta itu bersifat Heliosentris. Sedangkan doktrin gereja menyatakan bahwa bumi adalah pusat alam semesta. Walaupun teori heliocentris ini sudah lama dicetuskan oleh Nicolaus Copernicus dalam bukunya “De Revolutionibus.“ Namun gereja tidak pernah mengakuinya. Bahkan berusaha menyingkirkan orang yang menyabarkan ajaran tersebut dengan menghakimi mereka sebagai penyebar ajaran sesat dan layak untuk dihukum mati.

Pertentangan tersebut merupakan awal munculnya berbagai kelompok yang tidak puas dengan otoritas Gereja Katholik Roma. Dalam film dikisahkan kelompok ini bernama Illuminati. Sebuah kelompok yang mendukung ilmu pengetahuan dan ingin menggulingkan otoritas gereja.

Isi filmnya, kurang lebih seperti itu. Secara sinema, penyajian alur cerita ini sangat menarik, tapi dari isinya, kita perlu mencermati. Bagi pembaca yang belum mengetahui sejarah agama Kristen, mungkin film itu agak membingungkan (semoga saja tidak).

Secara pribadi, saya tidak sepenuhnya setuju dengan menggambarkan Gereja yang terlalu materialistik. Film itu bercerita, saat Paus terbunuh, pemegang kekuasaan Katholik Roma sedang vakum dan ada sebuah bom antimaterial yang mengancam keberadaan gereja (Basilica St. Petrus). Dari sini terlihat bahwa gereja seolah ditampilkan materialistik dan tidak dapat berbuat sesuatu jika tidak ada Paus.

Kata gereja dalam film ini selalu diidentikkan dengan bangunan, lembaga atau sistem. Gereja sendiri berarti kumpulan umat. Jika melihat arti yang lebih spesifik lagi, gereja adalah individu. Kutipan salah satu ayat perjanjian baru, mengatakan bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus (I Korintus 6: 19-20). Jadi dapat pula dikatakan bahwa gereja itu adalah diri kita pribadi. Konsep ini kadang dikaburkan dengan konsep gereja sebagai gedung atau sistem, yang justru menghilangkan makna sesungguhnya.

Kita dapat melihat, bahwa kedudukan Paus sebagai pemimpin tertinggi umat Katholik Roma di Vatican, merupakan pengganti posisi Petrus yang saat itu memimpin jemaat Kristen mula-mula. Petrus merupakan salah satu rasul yang ditunjuk oleh Tuhan Yesus untuk melanjutkan tugasnya menyebarkan berita gembira ke seluruh penjuru dunia.

Seiring berjalannya waktu, tugas penggembalaan umat tersebut semakin bias. Sudah banyak catatan sejarah yang menorehkan perilaku buruk Sang Penerus Kepemimpinan tersebut. Salah satunya adalah kisah tentang pertentangan ilmu pengetahuan dan gereja.

Jika ingin mengetahui apa dan bagaimana kehidupan tokoh Yesus yang kontroversial ini silahkan membaca buku yang berjudul Mendongkel Yesus Dari Takhta-Nya! Buku ini memberikan ulasan yang menarik tentang identiitas Yesus yang umat Kristen yakini sebagai Tuhan dan Juru Selamat ini. Salah satu bagian yang menarik dari buku ini adalah, jika Anda adalah umat Kristen, saat ini Anda berkiblat kemana, Kristianitas atau Yesusanitas?

Dari kaca mata awam, agama Katholik Roma ini sepertinya sangat mendewakan manusia. Seolah Paus adalah segalanya dan gedung gereja yang megah adalah pusat segalanya. Jangan sampai kita terjebak dengan yang kasat mata dan kagum dengan hasil cipta manusia. Justru yang harus kita lihat adalah aktor di balik itu semua.

Dan tidak benar juga jika kita tidak sependapat dengan sistem gereja yang terlalu duniawi lalu mendewakan ilmu pengetahuan. Menjadikan ilmu pengetahuan segala-galanya. Peristiwa pengusiran Adam dan Hawa dari taman Firdaus, menara Babel, Sodom dan Gomora merupakan bentuk kegagalan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan kita melawan Sang Seniman Kehidupan.

Film ini menjadi refleksi kita bersama tentang pekerjaan Tuhan yang luar biasa. Dia membiarkan kita untuk menafsirkan karya Nya secara bebas. Dia membiarkan kita untuk memaknai hidup ini secara bebas. Wow.. sosok pencipta yang aneh dan susah diterima konsep manusia, tapi memang benar-benar terjadi.

Ilmu pengetahuan dan iman sudah selayaknya berjalan sejajar dan memiliki porsi yang seimbang. Kebijakan dan ilmu pengetahuan jika dikembalikan untuk kemulian Tuhan akan membawa kebahagiaan bagi semua ciptaan. Tapi jika dimanfaatkan untuk pemuas kebutuhan manusia, yang terjadi adalah malapetaka. Kutipan dari Mahatma Gandhi dapat menjadi refleksi kita bersama, "The earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed".

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...