Skip to main content

Sekarang Sudah Hilang...


Jika anda melihat foto tersebut mungkin biasa saja. Namun bagi yang pernah datang ke lokasi tersebut pasti akan kecewa, marah, masygul, terperangah. Dua tahun yang lalu, tempat ini adalah hasil kerjaku yang bisa dibilang sukses. Dulunya tempat itu menjalankan peran sebagai tempat pemilah sampah warga RT 6 Kapuk Muara. Tidak itu saja, di atas lahan kecil ini berdiri juga tempat daur ulang kertas dan pengelolaan kompos yang dijalankan oleh Komunitas Peduli Kali Angke (KPKA).

Tempat pengelolaan sampah ìni, secara prinsip bagus. Dibangun di atas tempat pembuangan sampah warga. Berbagai kegiatan yang berhubungan dengan sampah bisa dilakukan di lahan sempit ini. Sebaik apapun perencanaan, jika pengelolaan terbengkalai, tetap saja tidak akan bertahan lama.

Kejadian ini tentu saja membuatku terpukul. Pasalnya aku yang ikut membidani lahirnya tempat pengelolaan warga ini, tidak sempat melihat pemanfaatannya secara maksimal. Ingin marah tapi tidak tahu ditujukan kepada siapa. Warga RT 6 dan KPKA yang selama ini mati-matian aku pertaruhkan kepercayaan dan komitmenku pada mereka ternyata jauh panggang dari api. Aku merasa dikhianati. Janji mereka untuk menjaga dan memanfaatkan untuk kepentingan warga dan lingkungan tidak terbukti. Hmm... cuman helaan nafas saja yang dapat ku lakukan. Nasi telah jadi bubur. Kini tempat itu telah menjadi bagian dari pabrik es. Memang merekalah yang berhak atas tanah itu. Kekecewaan itu tidak akan seperti yang aku rasa saat ini, jika pemanfaatannya maksimal dan ada pemberitahuan jika ada pembongkaran.

Kejadian ini adalah pengalaman berharga bagiku. Sebagai pendamping warga kita harus jeli melihat calon target. Tidak semua masalah warga harus kita turuti kemauannya. Simpati dan empati boleh. Tapi solusi barang atau uang bukanlah segalanya.

Sebagai pendamping warga kita bukanlah dewa. Karena itu ada beberapa catatan penting sebelum memberi bantuan ke warga, yaitu :
1. Sistem seleksi itu penting. Jangan sampai setelah bantuan diberikan malah dipakai untuk kepentingan kelompok atau golongan.
2. Komitmen. Setelah kelompok warga target terseleksi, pertanyakan komitmen mereka. Warga yang komitmen ini akan muncul setelah program berjalan dalam beberapa bulan bahkan dalam hitungan minggu. Dalam tahap ini bantuan barang belum diberikan, namun melihat sejauh mana mereka bisa berjalan dan bertahan dengan ide dan peralatan yang ada.
3. Jika kedua tahap itu sudah terlewati, barulah saatnya kita layak memberi bantuan. Bentuk bantuan yang diberikan tidak langsung 100% tapi cukup 80-90%. Jika ada kekurangan itu bisa usaha dari kelompok warga tersebut.
4. Pengawasan. Tahapan ini berfungsi untuk memantau sejauh mana warga memanfaatkan bantuan yang kita berikan. Jika semangat mereka mulai kendor, peran pendamping wargalah untuk menyemangatinya. Dapat dilakukan dengan diskusi rutin atau pertemuan informal warga.
5. Apresiasi. Ini adalah bentuk penghargaan atas usaha yang sudah dilakukan warga. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk menjaga semangat warga.

Catatan ini merupakan pengalaman aku selama berinteraksi dengan warga Kapuk Muara, sebuah wilayah di utara Jakarta yang berada di tepi kali Angke. Ada seorang teman yang pernah berkata ″Sebuah wilayah yang pernah didampingi lebih dari dua kali, faktor ketergantungan akan bantuan dari luar semakin tinggi. Karena mereka tahu, wilayah mereka adalah wilayah strategis untuk bantuan.″

Comments

Anonymous said…
tetap semangat ya ndra ... trenyuh juga membaca postinganmu ini.
Anonymous said…
Pengalaman yg sangat luar biasa, bisa jd masukan nih... terimaksih atas sharingnya.

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...