Skip to main content

Eretan, Ferry ala Jakarta


Moda transportasi yang satu ini bisa dibilang sangat membantu mobilisasi warga yang daerahnya dipisahkan oleh kali atau sungai. Jakarta sebagai kota yang dikenal memiliki banyak kali dan kanal tanpa dipungkiri memerlukan alat transportasi ini.

Warga Jakarta mengenalnya sebagai perahu tambangan atau bahasa betawinya eretan. Anda dapat melihat rekaman sebuah eretan yang sedang menyebrang Kali Angke dalam postingan ini. Selagi jembatan masih terbatas jangkauannya, eretan memerankan fungsi pelengkapnya. Sebagai sarana angkut warga yang praktis dan murah, jasa eretan ini sering dimanfaatkan warga bantaran kali.

Bentuk dasar eretan ini umumnya adalah perahu beratap. Model eretan ini banyak dijumpai di sepanjang hilir Kali Angke. Bentuk eretan yang lebih sederhana dapat ditemui di Kali Ciliwung bagian tengah, di daerah Condet sampai Manggarai. Eretan ini hanya terdiri dari bambu yang disusun berjajar selebar sekira 5 meter. Apapun bentuknya, eretan telah berperan penting sebagai penunjang kehidupan warga tepi sungai. Dan bisa menjadi sarana transportasi alternatif yang murah dan mudah. Saking praktisnya, banyak warga yang memakai jasa eretan.

Kalau dicermati, eretan ini adalah tiruan sederhana kapal ferry. Karena tidak hanya manusia saja yang bisa diangkutnya, tapi gerobak dan sepeda motorpun dapat merasakan usaha jasa swadaya warga bantaran sungai. Kalau begitu, apakah harganya mahal? Percaya atau tidak, untuk menyebrang dengan eretan kita cukup merogoh dompet Rp. 500,- per orang. Cukup murah bukan? Kalau menyeberang dengan sepeda motor, cukup sediakan saja Rp. 1.000,-. Eretan bagaimanapun merupakan angkutan rakyat. Jika bisa ditata dengan baik eretan pasti bisa menjadi daya tarik wisata dan mungkin saja menjadi tempat hangout yang menarik.

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup. Hari dem