Skip to main content

Monster Hijau Penjaga Lahan Basah Jakarta



Berbicara tentang lingkungan sepertinya tidak ada habisnya karena banyak topik yang bisa didiskusikan. Tapi, yang paling sering adalah akibat yang ditimbulkannya. Akibat dari lingkungan yang alpa dijaga.

Mulai dari banjir, kebakaran hutan, hingga pencemaran udara adalah contohnya. Ketika itu datang semuanya baru teringat. Tapi ketika itu berlalu, sepertinya orang pun alpa menjaganya.

Ingat saja peristiwa banjir yang melanda Ibu Kota pada Februari 2007. Ketika itu, Jakarta bagaikan lumpuh. Bukan hanya geliat ekonominya, melainkan juga denyut hari-harinya.

Masyarakat merasakan bagaimana hidup dalam ketiadaan. Mulai dari ketiadaan listrik, bahan pangan hingga transportasi. Ketika itu semua berteriak, ”Jagalah lingkungan.”

Tapi, adakah yang menyadari bencana banjir pada Februari 2007 adalah salah satu contoh kesalahan tata kelola lingkungan di Jakarta. Antara lain berkurangnya kuantitas dan kualitas lahan basah yang dimiliki Jakarta.

Karena itu, belajar dari banjir yang menghantam Jakarta, beberapa penggiat lingkungan berupaya menyelamatkan lahan basah Jakarta. Dimulai dengan dibentuknya Jakarta Green Monster (JGM) pada 5 Juni 2006, bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup 2006. Misi gerakan ini adalah menyelamatkan lahan basah. Memang sebuah isu yang kedengarannya janggal, namun berdampak cukup besar bagi Jakarta.

Visi yang diemban JGM adalah mendorong terciptanya lingkungan yang nyaman dan lestari, membangun kepedulian, dan menumbuhkembangkan pastisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan, dan memfasilitasi upaya partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan.

Untuk melaksanakan visi tersebut, disusunlah misi yang antara lain terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi di Jakarta secara kolaboratif, ikut terlibat dalam penyampaian pesan lingkungan ke masyarakat luas dengan data dan kajian ilmiah, serta menggalang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.

Lahan basah yang saat ini menjadi sasaran kegiatan JGM adalah Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA). Kawasan hijau yang secara administratif terletak di Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan, Kota Madya Jakarta Utara itu merupakan salah satu kawasan hutan bakau yang masih tersisa di pesisir utara Jakarta. Dengan luas 25,02 hektare, SMMA merupakan suaka margasatwa yang terkecil di Indonesia.

Hutan manrove Muara Angke pertama kali ditetapkan sebagai kawasan perlindungan alam pada 1939 oleh pemerintah Hindia Belanda dengan status cagar alam. Enam puluh tahun kemudian, status kawasan itu berubah menjadi suaka margasatwa.

SMMA terbilang sebagai kawasan yang unik. Sebagai kawasan konservasi yang berada di daerah perkotaan dengan luas yang kecil, ternyata tempat itu masih memiliki keragaman jenis burung yang tinggi yang mencapai 91 jenis.

Salah satu jenis burung tersebut adalah bubut jawa (Centropus nigrorufous). Bubut jawa merupakan burung yang kini terancam punah di dunia. Dengan berbagai keunikannya tersebut, SMMA merupakan tempat yang wajib dikunjungi komunitas pengamat burung (birdwatcher) lokasl bahkan international.

*) Artikel Seandainya Aku Gubernur Jakarta, diterbitkan di rubrik Tentang Media Indonesia, tanggal 22 Agustus 2007. Penulis adalah relawan Jakarta Green Monster.

Sumber asli silahkan klik di sini

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...