Skip to main content

Mimpi Pejuang Salak Condet

Jakarta sebagai kota metropolitan, denyut nadinya lekat dengan rutinitas kegiatan politik, pemerintahan dan ekonomi. Kota multi fungsi yang berperan sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi ini mempunyai daya pikat tersendiri bagi warganya. Konsekwensi dari sebuah kota yang menyandang gelar sebagai kota metropolitan tentulah tidak sederhana.

Berbagai penyesuaian tata ruang perlu dilakukan untuk mendukung berbagai bentuk kegiatan di dalamnya. Penyesuaian tata ruang ini cenderung berdampak negatif pada lingkungan. Hal yang paling mudah terlihat adalah berkurangnya lahan terbuka hijau. Pengalih fungsian lahan terbuka hijau merupakan kejadian yang dianggap lumrah di Jakarta. Kebijakan pengalih fungsian lahan dengan dalih kepentingan ekonomi dan pemukiman terbukti sangat ampuh untuk melegalkan perubahan fungsi lahan.

Satu kejadian alam yang menjadi pengingat kesalahan kita dalam mengelola lingkungan Jakarta adalah banjir Februari 2007. Banjir tahun ini jika dibandingkan dengan peristiwa sebelumnya merupakan banjir yang terparah. Wilayah Jakarta hampir 75 % digenangi air. Kerugian yang harus ditanggung baik oleh warga maupun pemerintah tidaklah sedikit.

Belajar dari bencana banjir yang kerap melanda Jakarta, ada seorang lajang Betawi yang tergerak untuk menyelamatkan tempat kelahirannya dari kerusakan. Pemuda yang bernama lengkap Abdul Khodir (36) atau yang akrab dipanggil Diding ini merupakan salah satu pejuang konservasi yang mengangkat isu lingkungan kawasan Condet, Jakarta Timur.

Menurut penuturan Diding, Condet merupakan salah satu wilayah unik yang masih dimiliki Jakarta. Wilayah yang disebut Condet, saat ini dimiliki oleh 3 kelurahan, antara lain Batu Ampar, Kampung Tengah dan Balekambang. Kawasan ini berdasarkan peruntukkannya ditetapkan menjadi kawasan Cagar Budaya sejak zaman Gubernur Ali Sadikin. Namun sungguh ironi, status tersebut tidak sanggup membendung laju perubahan fungsi lahan menjadi kawasan pemukiman dan ekonomi.

Condet, 36 tahun yang lalu merupakan kawasan asri tepian sungai Ciliwung yang ditumbuhi aneka jenis tanaman produktif asli Condet seperti salak, duku, kecapi, pucung, nanam. Secara geografis, Balekambang tepat bersebelahan dengan sungai Ciliwung. Warga asli Balekambang sebagian besar masih memanfaatkan lahan tepian sungai untuk perkebunan tanaman produktif seperti seperti pisang dan salak. Ini merupakan jejak kejayaan kawasan Cagar Budaya Condet yang ingin dipertahankan oleh Diding.

Usaha penyelamatan tanaman lokal sudah dirintis Diding sejak tahun 1995. Untuk mendukung usahanya itu, dia memanfaatkan kebun buah yang dimiliki orang tuanya sebagai kebun percobaan mini. Di atas lahan 2 ha, dengan berbekal pengetahuannya dalam bidang pertanian, Diding sering melakukan percobaan mandiri dengan tanaman salak Condet yang dimilikinya. Dalam penyelamatan bibit salak Condet ini, Diding melibatkan pemuda lokal untuk peduli pada kelestarian salak Condet. Untuk mewadahinya, dibentuklah Wahana Komunitas Lingkungan Hidup (WKLH). Kegiatan utama WKLH adalah melakukan sosialisasi pentingnya penyelamatan tanaman asli Condet ke warga sekitar.

Percobaan yang ditekuninya kini dapat dilihat hasilnya berupa keragaman salak Condet yang berhasil dibudidayakan. Sampai saat ini 10 dari 15 varietas salak telah berhasil dibudidayakan oleh WKLH. Setiap varietas itu memiliki keunikannya masing-masing, mulai dari aroma, warna kulit buah bahkan sampai rasa. Kalau mau dibandingkan dengan salak Pondoh, dilihat dari kualitasnya tidaklah jauh berbeda.

Diding tidak cukup berpuas dengan keberhasilannya membudidayakan 10 varietas salak Condet. Sampai sekarang Diding masih penasaran mengapa kalangan akademisi maupun pemerintah tidak tertarik mengembangkan keunikan salak Condet ini. Karena jika dibandingkan dengan salak pondoh, kualitasnya tidak jauh berbeda. Dilihat dari keunikannya, budidaya salak di Jakarta, hanya dapat ditemui di Condet saja dan salak Condet pada umumnya telah berusia ratusan tahun.

Kurangnya dukungan dari pihak yang berkompeten tidak menyurutkan niatnya untuk terus mewujudkan mimpinya. Pada mulanya Diding sering menemui banyak kendala. Saat itu kondisi kebun sangat tidak mendukung karena keterbatasan prasarana fisik untuk kegiatan pembibitan. Di tengah perjuangannya, dia sempat terhenti karena banyaknya kendala yang ditemui. Namun dengan berbekal semangat dan mimpi untuk mengembalikan ke asrian Condet, saat ini hasil kerja kerasnya mulai berbuah.

Masyarakat umum mulai mengenal keunikan wilayah Condet, bahkan perusahaan swastapun mulai melirik kawasan ini. Satu demi satu mulai bermunculan, dimulai dengan adanya hibah dana untuk pembangunan prasarana fisik yang dimanfaatkan untuk pembuatan green house. Setelah itu berlanjut dengan berbagai bantuan material untuk usaha pembibitan dari Dinas Pertanian DKI Jakarta. Berbagai lembaga yang bergerak di bidang lingkungan hidup sering memanfaatkan kebun mininya untuk berbagai peringatan hari lingkungan. Jika dihitung, tidak kurang 1000 orang telah mengunjungi kebun mini itu. Ternyata ada juga lembaga yang memanfaatkan untuk kegiatan pariwisata bernuansa konservasi lingkungan, yaitu dengan aksi penanaman pohon.

Keunikan wilayah Condet Balekambang dan usaha penyelamatan salak Condet yang dilakukan oleh Diding ternyata menggelitik berbagai media untuk melihat secara langsung ke lokasi. Media cetak dan elektronik kerap menjadi langganannya untuk mengisi segmen khusus tentang lingkungan. Ya, setelah berpuluh tahun, usaha penyelamatan kawasan Cagar Budaya Condet mulai bergaung di masyarakat. Perjuangan Diding yang tidak kenal lelah telah mencuatkan nama Condet Balekambang menjadi salah satu kawasan yang mulai dilirik oleh lembaga pemerintah untuk dijadikan sebagai tempat pendidikan lingkungan dan komunitas yang dibidaninya, WKLH sebagai salah satu stakeholder lokal yang cukup diperhitungkan. Itu semua merupakan fondasi yang akan membangun kembali Condet seperti 36 tahun silam, Condet yang asri, hijau dan rimbun dengan tanaman buah lokalnya.


*) Artikel Mimpi Pejuang Salak Condet, ditulis oleh Hendra Aquan. Artikel berupa profil Bang Khodir ini merupakan hasil Pelatihan Jurnalistik di Balekambang-Condet, 15-16 Mei 2007. Hendra adalah relawan Jakarta Green Monster, saat ini bekerja di lembaga FFI-IP.

Sumber artikel klik di sini

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...