Skip to main content

Memerdekakan Papua

Papua pasti bukanlah nama yang asing lagi bagi kita sejak dipopulerkan oleh Gus Dur di era pemerintahannya untuk menggantikan nama Irian. Papua adalah pulau dengan sejuta pesona. Tanah perjanjian yang diberkati Tuhan dengan kelimpahan kekayaan alam hayati dan non hayati, kekayaan budaya, serta beragam misteri yang belum terungkap sampai sekarang. Sebuah pulau dengan kekayaan alam luar biasa yang mampu mensubsidi hampir 50% devisa negara ini. Namun, kondisi warga aslinya sangat jauh dari layak. Sangat mengenaskan. Pernahkah kita mencoba memikirkan negara ini sampai ke sana?


Ada sebuah film yang diangkat dari sebuah kisah nyata tentang keadaan masyarakat pedalaman Papua. Banyak dari anda pasti sudah pernah mengetahuinya. Ya, film itu berjudul Denias, Senandung di Atas Awan. Film ini berkisah tentang perjuangan seorang anak pedalaman untuk pintar. ”Denias, ko harus sekolah. Karena gunung takut dengan orang sekolah” ujar mama Denias. Kalimat sederhana itulah yang memicu Denias untuk mencapai pendidikan tinggi sampai sekarang.

Kisah Denias ini telah membuka pandangan saya tentang kondisi saudara sebangsa di ujung timur negara ini. Betapa tidak adilnya pembangunan yang dilakukan selama ini terutama pada masa 32 tahun Orde Baru berkuasa. Kemakmuran sangatlah jauh dari pandangan. Pemiskinanan, pembodohan, pembunuhan itulah yang kerap terjadi di bumi kaya itu. Sungguh gila, tindak tanduk para pemimpin bangsa beradab Indonesia.


Berbagai cerita yang saya dengar dari berita dan artikel media massa, tuturan orang tua tentang nostalgia kejayaan Papua zaman Belanda serta kisah teman-teman yang lahir dan besar di Papua, itulah yang menjadi penyemangat saya untuk mengabdi bagi Papua. Jadi, bukanlah hal yang aneh lagi, kalau isu separatisme dengan adanya Organisasi Papua Merdeka (OPM) sering santer diberitakan. Walaupun gerakan ini timbul tenggelam, namun semangatnya untuk merdeka merupakan gambaran tidak adilnya perlakuan yang telah diterima saudara sebangsa di pulau indah itu.


Jika mau jujur dan berpikir jernih, kemajuan, kejayaan, kemakmuran yang dicapai masyarakat pulau Jawa, sedikit banyak pasti ada sumbangsih dari kekayaan bumi Papua juga. Selama era presiden Suharto yang sentralistis, berapa banyak kekayaan yang disedot untuk membangun Jakarta? Berapa juta rakyat Papua yang harus menderita baik jiwa dan raga selama Orde Baru mengeruk kekayaan Papua?


Semua itu semakin membangun mimpi saya untuk mengabdi bagi rakyat dan bumi Papua. Ini adalah pemikiran yang aneh dan melawan arus. Era dimana semua orang mengejar ketenaran dan kekayaan. Masa di mana orang daerah berlomba pergi ke Jawa, khususnya Jakarta untuk mengadu nasib di pusat kemakmuran negara Indonesia, pergi ke Papua adalah pemikiran yang tidak masuk akal dan bikin susah diri sendiri. Itu adalah tanggapan yang terlontar dari kerabat dekat saat saya menyampaikan mimpi itu.


Namun, saya tahu semua itu sedikit demi sedikit akan terwujud. Pertama kali saya kuliah, saya menuliskan target saya setelah lulus adalah kembali ke Papua dan bekerja di organisasi non pemerintah. Kini semua nampak jelas, saat Tuhan menuntun saya pada sebuah lowongan di CARDI, sebuah International Non Government Organization (INGO) yang bekerja untuk kemanusiaan. Tahun ini mereka akan membuka site projet baru di Kabupaten Sarmi dan membutuhkan staff lapangan. Posisi yang akan saya ambil adalah Community Mobilization Officer (CMO). Saat tulisan ini saya buat, saya sedang melengapi persyaratan yang diminta.


Kembali dan memerdekakan Papua, akhirnya di depan mata. Membawa saudara sebangsa menikmati kemakmuran yang pernah saya rasakan selama di Jawa. Memanusiakan manusia. Ya, mimpi itu tinggal menunggu hari untuk diwujudkan.


God, I'm waiting for Thy will. Amin.

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...