Ada sebuah film yang diangkat dari sebuah kisah nyata tentang keadaan masyarakat pedalaman Papua. Banyak dari anda pasti sudah pernah mengetahuinya. Ya, film itu berjudul Denias, Senandung di Atas Awan. Film ini berkisah tentang perjuangan seorang anak pedalaman untuk pintar. ”Denias, ko harus sekolah. Karena gunung takut dengan orang sekolah” ujar mama Denias. Kalimat sederhana itulah yang memicu Denias untuk mencapai pendidikan tinggi sampai sekarang.
Kisah Denias ini telah membuka pandangan saya tentang kondisi saudara sebangsa di ujung timur negara ini. Betapa tidak adilnya pembangunan yang dilakukan selama ini terutama pada masa 32 tahun Orde Baru berkuasa. Kemakmuran sangatlah jauh dari pandangan. Pemiskinanan, pembodohan, pembunuhan itulah yang kerap terjadi di bumi kaya itu. Sungguh gila, tindak tanduk para pemimpin bangsa beradab Indonesia.
Berbagai cerita yang saya dengar dari berita dan artikel media massa, tuturan orang tua tentang nostalgia kejayaan Papua zaman Belanda serta kisah teman-teman yang lahir dan besar di Papua, itulah yang menjadi penyemangat saya untuk mengabdi bagi Papua. Jadi, bukanlah hal yang aneh lagi, kalau isu separatisme dengan adanya Organisasi Papua Merdeka (OPM) sering santer diberitakan. Walaupun gerakan ini timbul tenggelam, namun semangatnya untuk merdeka merupakan gambaran tidak adilnya perlakuan yang telah diterima saudara sebangsa di pulau indah itu.
Jika mau jujur dan berpikir jernih, kemajuan, kejayaan, kemakmuran yang dicapai masyarakat pulau Jawa, sedikit banyak pasti ada sumbangsih dari kekayaan bumi Papua juga. Selama era presiden Suharto yang sentralistis, berapa banyak kekayaan yang disedot untuk membangun Jakarta? Berapa juta rakyat Papua yang harus menderita baik jiwa dan raga selama Orde Baru mengeruk kekayaan Papua?
Semua itu semakin membangun mimpi saya untuk mengabdi bagi rakyat dan bumi Papua. Ini adalah pemikiran yang aneh dan melawan arus. Era dimana semua orang mengejar ketenaran dan kekayaan. Masa di mana orang daerah berlomba pergi ke Jawa, khususnya Jakarta untuk mengadu nasib di pusat kemakmuran negara Indonesia, pergi ke Papua adalah pemikiran yang tidak masuk akal dan bikin susah diri sendiri. Itu adalah tanggapan yang terlontar dari kerabat dekat saat saya menyampaikan mimpi itu.
Namun, saya tahu semua itu sedikit demi sedikit akan terwujud. Pertama kali saya kuliah, saya menuliskan target saya setelah lulus adalah kembali ke Papua dan bekerja di organisasi non pemerintah. Kini semua nampak jelas, saat Tuhan menuntun saya pada sebuah lowongan di CARDI, sebuah International Non Government Organization (INGO) yang bekerja untuk kemanusiaan. Tahun ini mereka akan membuka site projet baru di Kabupaten Sarmi dan membutuhkan staff lapangan. Posisi yang akan saya ambil adalah Community Mobilization Officer (CMO). Saat tulisan ini saya buat, saya sedang melengapi persyaratan yang diminta.
Kembali dan memerdekakan Papua, akhirnya di depan mata. Membawa saudara sebangsa menikmati kemakmuran yang pernah saya rasakan selama di Jawa. Memanusiakan manusia. Ya, mimpi itu tinggal menunggu hari untuk diwujudkan.
God, I'm waiting for Thy will. Amin.
Comments