Skip to main content

Jakarta dan Sampahnya

Jakarta adalah propinsi dengan luas wilayah yang tidak terlalu besar namun memiliki jumlah kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia. Dampak ikutannya adalah tingginya volume timbulan sampah setiap harinya.


Produksi sampah kota Jakarta mencapai 6.000 ton per hari. Produsen sampah kota tersebut, berdasarkan jenis serta persentasenya, antara lain sungai (2 %), pasar temporer (5,5 %), PD Pasar Jaya (7,5 %), industri (15 %), jalan dan taman (15 %), rumah tangga (58 %). Dari pengelompokan tersebut terlihat bahwa sebagian besar sampah kota berasal dari rumah tangga. Persentase sampah organik seperti sisa makanan, sayuran, buah-buahan, kertas, kayu mencapai 65,05 %. Sedangkan sampah non organik seperti plastik, styrofoam dan besi, sekitar 34,95 %.


Banyaknya produksi sampah per hari kota Jakarta, menyebabkan penanganannya tidak dapat berjalan secara optimal. Bahkan menimbulkan beberapa permasalahan baru, seperti kegiatan pembuangan sampah di sungai, penimbunan sampah di bantaran sungai. Kegiatan tersebut dilakukan oleh warga yang kebanyakan berdiam di tepi sungai. Mereka membuang sampah di sungai karena tidak tersedianya tempat penampungan sampah serta susahnya akses jalan bagi truk kebersihan ke lokasi pemukiman warga.


Akibat dari pengelolaan sampah yang tidak tepat ini antara lain pendangkalan sungai yang akan berakibat banjir saat musim hujan karena berkurangnya volume tampung sungai, penimbunan sampah yang tidak mudah hancur di dalam tanah dapat merusak struktur tanah yang kemudian akan menyebabkan tanah longsor. Beberapa contoh tersebut merupakan dampak yang nampak, sedangkan dampak tak kasat mata masih banyak lagi.


Sampah-sampah tersebut saat ini masih ditangani dengan cara sederhana, yaitu dikumpulkan, dibuang lalu dimusnahkan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang. Penyelesaian produksi sampah yang sangat besar ini sebaiknya dimulai dari sumber sampah. Jika dilihat kembali, rumah tangga merupakan produsen dominan sampah Jakarta.


Beberapa langkah yang dapat dilakukan di tingkatan rumah tangga seperti pemilahan sampah berdasarkan jenisnya. Dari pemilahan ini, barang yang masih dapat dijual atau dimanfaatkan kembali tidak akan ikut dimusnahkan. Jika dapat dikelola dengan benar, penjualan barang-barang tersebut bisa menjadi sumber penghasilan sampingan.


Jika dibandingkan dari produksi sampah tahun sebelumnya, produksi sampah Jakarta cenderung mengalami peningkatan. Berbagai cara diupayakan untuk menekan produksi sampah kota tersebut. Salah satu caranya adalah dengan pemilahan sampah. Berbicara tentang volume timbulan sampah, yang perlu diingat adalah cara pengurangan jumlah sampah. Tanpa adanya usaha pengurangan produksi sampah, mustahil volume timbulan sampah kota Jakarta akan menurun.


Usaha sederhana yang dapat kita lakukan untuk mengurangi jumlah produksi sampah kota, adalah menggunakan tas kain saat berbelanja untuk mengurangi kemasan plastik, membawa botol minum sendiri saat bepergian, mengurangi pemakaian barang sekali pakai, meletakkan sampah pada tempatnya, dan masih banyak yang lain. Dari usaha sederhana dan praktis ini jika dilakukan oleh seluruh warga Jakarta, maka tidak mustahil, sampah bukan menjadi permasalahan utama kota lagi dan dampak ikutan sampah niscaya juga akan ikut berkurang. (Aq)


Sumber asli silahkan klik di sini

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...