Skip to main content

Seandainya Aku Gubernur Hijau

Oleh : Lita Bunga Amalia dan Hendra Michael Aquan *)


Jakarta merupakan propinsi dengan penduduk terpadat di Indonesia. Konsekuensinya, berbagai pekerjaan rumah, seperti masalah sosial, ekonomi, politik, dan keamanan seakan tidak pernah selesai dan kian menumpuk.


Belum terhitung berbagai kasus lingkungan, kemacetan lalu lintas, jumlah sampah, tersumbatnya aliran air karena selokan berubah fungsi jadi tempat sampah, bahkan putusnya jembatan di Condet karena sampah. Ironis memang Ibu Kota negara ini belum layak dicontoh. Besarnya jumlah penduduk menyebabkan beratnya beban yang mesti ditanggung Jakarta.


Warga Jakarta, entah itu yang masih mengharapkan mercy alias belas kasih ataupun orang yang naik mobil Mercy masih membuang sampah sembarangan. Jalan tidak pernah bebas dari sampah, mulai dari puntung rokok hingga bungkus plastik. Sungai pun berwarna hitam dan bau dengan sampah di permukannya dan mengalir dengan tenang menuju Teluk Jakarta. Dari bungkus permen sampai kursi sofa bisa ditemukan di sungai. Sungai Jakarta bukan lagi tempat memancing ikan, melainkan tempat pembuangan dan penimbunan sampah terbesar.


Andaikan aku gubernur, aku akan berusaha mengembalikan kondisi lingkunganku. Pertama, membenahi sistem pengolahan sampah kota. Kedua, mengurangi pemakaian plastik di tempat perbelanjaan. Ketiga, menindak tegas mereka yang masih nekat membuang sampah di sungai. Keempat, menambah ruang terbuka hijau. Kelima, melestarikan lahan basah.


Sampah Jakarta tidak akan lagi diolah di daerah tetangga. Sampah harus diselesaikan Jakarta sendiri, termasuk juga menanggung risikonya.


Produksi sampah warga Jakarta per hari mencapai 6.000 ton. Sebagian besar penyumbangnya adalah rumah tangga. Maka sampah seharusnya dikelola dari rumah dan bukan setelah ada di tempat penampungan. Memilah sampah adalah terbaik. Sampah organik diolah menjadi kompos. Sampah non organik dikumpulkan untuk didaur ulang. Sampah yang tidak dapat masuk ke tempat pembuangan sampah akhir.


Sistem pemilahan sampah itu akan aku atur dalam peraturan daerah. Pelanggarnya akan dikenakan sanksi disiplin membantu petugas kebersihan di tempat umum secara sukarela, minimal 30 jam per minggu, tanpa terkecuali.


Budaya plastik juga masih sangat tinggi di negeri ini. ketika belanja sebungkus kacang, kita akan mendapat bonus kantong plastik segede ’gajah’. Padahal, plastik tidak akan hancur selama 100 tahun!


Aku akan mempopulerkan pemakaian kemasan tahan lama, seperti tas kain. Aku juga akan menetapkan pajak pemakaian plastik yang besarnya 30 % dari total belanjaan. Pajak yang terkumpul akan digunakan untuk membantu Program Pemulihan Sungai Jakarta (PPSJ) dari sampah.


Sebagai gubernur, aku juga akan menerapkan ronda sungai, melibatkan masyarakat untuk ikut aktif mencegah pembuangan sampah di sungai. Jika ada yang ketahuan membuang sampah di sungai, sanksinya membersihkan sampah yang berada di sungai, minimal 40 jam setiap minggu, tergantung seberapa berat pelanggarannya.


Jika yang melakukan pembuangan sampah adalah industri, akan dikenakan sanksi administratif, denda, hingga sita aset. Hasilnya dilelang untuk kegiatan pemulihan kondisi lingkungan.


Untuk menanganani limbah cari rumah tangga, aku akan membangun sistem sistem pengolahan limbah mandiri di pemukiman yang tidak terjangkau sistem drainase. Hasil sampingannya, biogas yang dapat dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari.


Saat banjir rutin lima tahunan kemarin, sekitar 80 % wilayah Jakarta tergenang. Agar tidak terulang lagi, aku juga akan meninjau ulang pembangunan pusat perbelanjaan yang tidak sesuai dengan izin bahkan digusur jika memang pelanggarannya berat.


Targetku, luas ruang terbuka hijau minimal 60 % dari luas otal wilayah Jakarta. Itu jelas akan menambah daerah resapan dan banjir pun bukan lagi ancaman.


Lahan basah, sungai, rawa, waduk, danau dan situ kini mulai banyak yang beralih fungsi. Bantaran sungai berubah menjadi pemukiman. Pada 2006 saja, 60 % bantaran sungai Jakarta beralih fungsi jadi perumahan.


Untuk pembenahannya, warga di bantaran sungai akan dipindahkan ke rumah susun dengan sewa ringan dan disesuaikan tingkat penghasilannya. Akses listrik dan air bersih yang menjadi legalisasi pemukiman bantaran sungai akan ditertibkan. Jika ada pegawai pemda yang terbukti terlibat akan diproses lewat jalur hukum.


Setelah itu, aku akan mulai menata sungai, mengeruk dasar sungai, kemudian memperindah tepian sungai dengan tanman asli Jakarta. Begitu pula kawasan hutan mangrove. Anggarannya aku masukkan ke APBD.

Intinya, aku ingin menjadi gubernur hijau dengan kebjikaan hijau !


*) Artikel Seandainya Aku Gubernur Jakarta, diterbitkan di rubrik Tentang Media Indonesia, tanggal 22 Agustus 2007. Penulis adalah relawan Jakarta Green Monster.

Sumber asli silahkan klik di sini

Comments

Popular posts from this blog

Akhirnya Kena Tilang Kedua

Nasib orang siapa tahu, kira-kira begitulah bunyi sebuah kata bijak yang kerap kita dengar. Kejadian itu akhirnya terulang lagi pada 2 September 2008 jam 23.30 di sekitaran Tebet. Hari itu aku ada pertemuan dengan Edy dan Nai di Mampang Prapatan. Biasalah membahas tentang kerjaan. Setelah selesai, jam 23.00 aku dan Edy beranjak pulang dengan rute pertama adalah mengantar Edy ke Cawang, karena dia akan pulang ke Bogor. Sesampainya di jalan protokol, saat akan putar balik ke arah Cawang perasaan mulai tidak enak. Di beberapa titik kami menyalip patroli BM. Sebenarnya kekhawatiran itu tidak perlu muncul jika saja lampu motorku bekerja dengan baik. Sebelumnya memang sudah diingatkan Pandam untuk berhati-hati jika melalui jalan protokol apalagi dengan lampu yang hidup enggan matipun tak mau, bakal jadi sasaran empuk patroli BM. Perjalan menuju Cawang tidak menemui hambatan berarti, walaupun pupil mata harus bekerja maksimal, maklum perjalanan hanya memanfaatkan cahaya bulan dan sorot kenda...

#30DWC : Saya Bangkit karena Kalian, Terima Kasih Teman!

Menginjak hari ke 29, saya menilai bahwa #30DWC merupakan tantangan yang luar biasa. Tulisan ini merupakan kilas balik perjalanan saya mengikuti tantangan 30 hari menulis tanpa henti (#30DWC). Para peserta dipaksa menulis dan mengunggah tulisan setiap hari pada jam yang telah ditentukan.  Pada awal bergabung di #30DWC saya berpikir bahwa menulis setiap hari itu mudah. Jumlah kata yang disyaratkan dalam tulisan harian tersebut minimal sebanyak 200 kata. Rekam jejak saya di enam hari pertama cukup baik. Tulisan saya rata-rata bisa membukukan 1.000 kata di setiap unggahan.  Memasuki hari ketujuh, saya masih bisa mengirim tulisan. Namun stamina menulis saya sudah menurun. Saya mulai terlambat mengirim tagihan tulisan. Puncaknya adalah hari kesembilan. Hari itu adalah hari terakhir saya mengirim tagihan tulisan ke WA grup Aksara. Memasuki hari kesepuluh saya tidak aktif sama sekali. Alhasil saya menyandang status drop out. Setiap hari muncul rekap hasil tulisan teman-teman di grup....

Muara Angke, Monumen HAM Abadi

Bagi para penikmat sejarah Batavia , asal muasal nama Muara Angke ini sangat banyak ragamnya. Dan menarik untuk disimak. Tapi dalam rangka peringatan hari Hak Asasi Manusia ( HAM ) 10 Desember ini, saya akan menuliskan ulang tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Jakarta. Kita akan bernostalgia di Batavia zaman Vereenigde Oost-Indische Compagnie ( VOC ) berkuasa di Nusantara. Pada mulanya Belanda datang ke Nusantara dengan maksud berdagang rempah-rempah. Namun karena persaingan dagang di antara negara penjelajah-pedagang seperti Portugis, Spanyol dan Inggris semakin sengit, membuat Belanda makin sewot dan gerah. Harga jual rempah-rempah setibanya di Belanda sangatlah mahal, karena rantai distribusinya sangat panjang. Untuk memotong jalur ini, maka sejak 1602 Belanda memulai kegiatan dagangnya di Nusantara. Semenjak mendapatkan Nusantara, Belanda ”seng ada lawan”. Pasalnya, seluruh perdagangan rempah-rempah telah dikuasai VOC. Hegemoni perdagangan ini semakin lama semakin...